Senin, 07 Oktober 2019

Sekedar Kembang Wijaya Kusuma


Cerita Rakyat dari Kabupaten Cilacap 
{dengan modifikasi ending sesuai tantangan ODOP Batch 7 Minggu ke-4 }

Oleh :
Ika Ratnani


Luka meradang karna ganasnya sejarah
Hati pun terkoyak menjadi remah
Jiwa merapuh tersiram petra amarah


Di tepian Sungai Serayu, mataku memandang lurus ke arah horison. Sepoinya angin timur tak mampu meredam hati yang pilu bak tersayat sembilu dan dirajam batu. Ayah dan Ibuku telah dibunuh oleh Djoko Puring sejak aku kecil dulu. Aku bahkan tidak tahu kalau ibuku telah didorong Djoko Puring, terjatuh dan berubah wujud menjadi kembang Wijaya Kusuma. Amarahku membuncah. Tanganku terkepal, gigiku gemeletuk begitu kerasnya. Aku harus menuntut balas atas kematian kedua orang tuaku. Sesaat kemudian, aku bergegas melangkahkan kaki ke pusat Kadipaten Bonokeling, menemui kakekku, sang Adipati Bandapati.

“Tekadku sudah bulat, Kakek. Ijinkan hamba menuntut balas kepada Djoko Puring.”

“Oh ... Angger Danumoyo, Anakku. Aku tidak bermaksud membuatmu menuntut balas setelah kuceritakan kisah kedua orangtuamu. Namun, restuku akan selalu menyertai engkau kemanapun engkau pergi, Nak. Bawalah keris Giling Wesi ini dan Paman Arjo Bangun sebagai pendampingmu.” 

Tangan Kakek Adipati Bandapati bergetar saat menyerahkan sebuah keris ke tanganku. Matanya berkaca-kaca memandangku. Kukuatkan hati lalu dengan sigap segera kuterima keris itu dan memohon pamit untuk melakukan perjalanan ke arah barat.

Paman Arjo Bangun begitu setia mendampingiku sejak kecil. Apapun kebutuhanku, Paman Arjo Bangun selalu berusaha memenuhi. Senang ataupun sedih, Paman Arjo tahu suasana hatiku. Saat ini pun pengasuhku itu bersedia menemaniku mencari kebenaran kisahku. Semak perdu dan hutan lebat yang menghadang selama perjalanan dilaluinya tanpa mengeluh.

---

Ribuan tombak kemudian, di sebuah pantai melengkung dan banyak penyu, kulihat seorang tinggi besar berpakaian putih-putih seolah menantiku. Sosoknya berwibawa. Terdengar ia menggumam, “Aku menantimu sejak lama, Danumoyo.”

Aku kaget. Darimana orangtua itu tahu namaku.

“Akulah Djoko Puring yang engkau cari selama ini.”

Suara berat yang keluar dari lelaki berpakaian putih itu membuat dadaku bergetar. Jeri dan amarah datang bersamaan. Aku kalap. Segera kuterjang Djoko Puring tanpa kuda-kuda terlebih dahulu.

“Engkau telah membunuh kedua orang tuaku, Djoko Puring. Terimalah pembalasanku.” Teriakku penuh kesumat.

Djoko Puring hanya tersenyum. Segera saja kulayangkan kepalan tinjuku ke arah tubuhnya. Sayang, ia lincah menghindar. Rambutnya yang telah memutih mungkin saja mengajarkannya kesabaran untuk menghadapi lawan muda penuh gejolak sepertiku. Namun, aku tak mau terkecoh. Strategi perlawanan kuubah menjadi pelan namun penuh perhitungan. Sasaranku adalah kaki Djoko Puring. Tinjuku kuarahkan ke kanan, tapi kakiku menghentak kaki kiri Djoko Puring. Satu kali teknik bertarungku berhasil. Begitu jurus kelima, Djoko Puring seakan telah mengetahui langkahku. Ia kembali menghindar. Sesekali ia menangkis perlawananku dengan cara yang lembut. 

Dalam hati aku bertanya-tanya, “Kenapa lunak sekali ia melawanku?”

Sikap tarik ulur Djoko Puring dalam pertempuran makin membuatku penasaran. Gerakanku makin tanpa arah karena emosi. Di titik terlemahku, tiba-tiba Djoko Puring memberikan pukulan telak di rahang kanan. Aku oleng. Tubuhku ambruk dengan darah memuncrat dari mulutku. 

Paman Arjo Bangun berlari memapahku. Ia segera membawaku menjauhi bibir Pantai Teluk Penyu. Tubuhku yang remuk redam terus dibopong ke arah timur hingga aroma laut menghilang sama sekali.

“Aku malu, Paman.” Ujarku kepada Paman Arjo Bangun.

“Sabar, Den.” Jawabnya takzim sambil mengobati lukaku.

Setelah beberapa hari dirawat, aku berniat menenangkan diri.

“Aku akan naik gunung, Paman. Tunggulah sampai aku kembali.”

Paman Arjo hanya memandang punggungku tanpa berucap sepatah katapun.

 ---

Bumi menjadi saksi sejarah diri
Betapa gigih kepal tangan menempa arti
Merangkai keping hati 
Meraih pribadi madani

Di sebuah gua, aku terduduk. Kebingungan melanda pikiranku. Kekalahan dari Djoko Puring membuatku hancur. Namun, daripada bengong kuputuskan melatih jurus-jurus kanuragan semampuku. Berhari-hari tubuh ini kulatih dan kutempa agar bisa lebih baik. Badan gempalku lama kelamaan menyusut. Kurang tidur dan kurang makan akhirnya membuatku kelelahan dan tertidur pulas di suatu siang.

Aku bermimpi. Seorang wanita bergelung khas dari Bonokeling hadir dalam tidurku. Mungkinkah ia sosok ibundaku? Aku memandangnya penuh kekaguman.

Katanya, “Carilah Pulau Majeti. Di ujung timurnya akan kaudapati kembang Wijaya Kusuma yang akan memberikanmu kekuatan dan kewibawaan.”

Mataku terbuka. Tak ada siapapun di gua selain aku sendiri. Tanpa pikir panjang, kulangkahkan kaki menuruni gunung. Tujuanku adalah pulau Majeti.

Paman Arjo Bangun sumringah melihatku dari kejauhan. Tergopoh-gopoh ia menyongsong kedatanganku. 

“Ayo Paman kita cari Pulau Majeti.” Ajakku segera setelah bertemu Paman Arjo.

Meskipun terlihat bingung melihat semangatku, Paman Arjo menjawab, “Mari ke barat, Raden. Kita telusuri selatan Nusakambangan untuk mencari pulau itu.” Saran Paman Arjo Bangun.

 ---

Setelah berada di selatan pulau Jawa, aku dan Paman Arjo Bangun menyusuri sepanjang pantai. Tampak tebing hitam di sebelah timur. Senja yang temaram membuat segalanya gelap. Tidak terkecuali ketika langkahku terhenti di taman bunga. Sebuah bunga memikat hatiku. Warnanya putih makin berkilau terpapar cahaya purnama. Kelopak bersusunnya nampak anggun mengangguk disapa bayu. Kupetik salah satunya lalu kuletakkan di dalam balutan kain batik. Aku yakin inilah pulau Majeti yang dimaksud dalam mimpiku.

Berbekal keberanian penuh, aku kembali ke tempat Djoko Puring. Redup sinar purnama membawaku menemui orang yang kupikir telah mengambil hidup ayah dan ibuku.

“Bersiaplah engkau wahai Djoko Puring.” Teriakku kemudian.

Tanpa jeda, kulayangkan kembali jurus-jurus andalan. Satu persatu pukulanku mengenai Djoko Puring. Serasa memperoleh kekuatan baru, tenagaku berlipat kali ganda hingga Djoko Puring kewalahan menghadapiku. Ketika Djoko Puring lengah, kuambil keris Giling Wesi lalu kuhunus dan kuarahkan ke dada Djoko Puring. Namun, tiba-tiba terdengar suara bersamaan dari arah depan dan belakangku.

“Tunggu, Danumoyo.” Hampir bersamaan Djoko Puring dan Paman Arjo Bangun berusaha menghentikanku.

“Danu, aku adalah ayahmu. Keris Giling Wesi itu buktinya.” Ujar Djoko Puring cepat.

Gerakanku terhenti. Bimbang menyergapku. Paman Arjo Bangun dari arah belakang memegang bahuku dan berkata, “Betul, Raden. Dengarkanlah penjelasan Raden Djoko Puring.”

“Mungkin engkau mendengar bahwa ayahmu, Raden Pucangkembar dan Raden Ayu Bandawati terbunuh ditanganku. Bahkan orang menganggap aku telah menyebabkan ibumu terjatuh di pulau Majeti lalu mengubah wujud menjadi kembang Wijaya Kusuma. Cerita itu tidak benar, Anakku. Ibumu masih hidup. Ialah yang membuat taman bunga Wijaya Kusuma di Pulau Majeti itu.” Ungkap Djoko Puring perlahan.

“Tidak mungkin engkau ayahku.” Jawabku kepada lelaki berbaju putih itu.

“Engkau memiliki pusakaku, keris Giling Wesi. Lihatlah dibagian ujungnya, akan kau lihat lambang Kembang Wijaya Kusuma terukir di sana.” Kata Djoko Puring.

Kutelisik keris Giling Wesi dan memang kutemukan ukiran bunga dengan kelopak bertumpuk seperti yang kulihat semalam. Badanku gemetar, lalu lemas bersimpuh.

“Raden Pucangkembar adalah utusan yang kuperintahkan untuk meminang ibumu untukku. Namun, ternyata ia lalai. Kakekmu menganggap bahwa Pucangkembar sebagai pemenangnya hanya karena ia memiliki keris Giling Wesi milikku. Aku berusaha meminta pertanggungjawaban Pucangkembar, namun ia memilih menyerahkan nyawanya daripada menanggung malu. Sedangkan ibumu, ia tidak jatuh dan menjadi bunga Wijaya Kusuma. Aku menjaganya karena aku sangat mengaguminya. Oleh karena itu, kuhadiahkan pulau Majeti sebagai tempat tinggalnya. Dari ketekunan tangannya, bunga langka Wijaya Kusuma tumbuh subur.” Djoko Puring lalu menarik nafas panjang.

“Ibuku masih hidup?” penuh keheranan aku bertanya kepada orang yang mengaku ayahku.

“Aku di sini, Nak.” Seorang perempuan bersanggul khas Kadipaten Bonokeling menghampiriku. Sangat cantik dan mempesona. Aku mengenali alis tebalnya seperti milikku.

“Ibunda, engkaukah itu?” tanyaku tak percaya.

“Ibu menunggu kedatanganmu selama ini, Danu. Raden Djoko Puring adalah ayahmu. Kepadanya kuminta untuk berbelas kasihan agar tidak menyerang engkau di pertempuran terdahulu.”

Sekarang jelas rasa penasaranku kenapa Djoko Puring melawanku tak sepenuh hati. Ia begitu lunak karena ia ayahku.

“Bagaimana mungkin ia adalah ayahku, Ibunda?” tanyaku kepada ibu.

“Ketika Pucangkembar meninggal, aku dan ayahmu tinggal di Nusakambangan ini. Setelah engkau lahir, aku mengutus Paman Arjo Bangun membawamu ke Kadipaten Bonokeling untuk mengikat hubungan darah antara aku dan ayahku, agar keturunan Adipati Bandapati tetap lestari, Nak.”

Kutatap Paman Arjo Bangun meminta pembenaran darinya. Ia hanya tersenyum dan mengangguk.

“Lalu kenapa kakek menceritakan yang buruk tentang Djoko Puring terhadapku?” rasanya masih tak percaya kupandang ibuku.

“Itu adalah permintaanku, Nak. Bayangkan Pucangkembar yang memenangkan sayembara telah meninggal, dan aku bersama ayahmu kembali ke Kadipaten Bonokeling. Kewibawaan kakekmu dipertaruhkan, Nak.”

Perlahan aku mulai memahami perkataan ibuku. Djoko Puring adalah penguasa wilayah selatan yang bertanggung jawab. Bahkan setelah Pucangkembar wafat, ia masih mau menerima ibuku menjadi pendampingnya selama ini. Sedangkan, Raden Ayu Bandawati yang kata orang telah menjelma menjadi bunga Wijaya Kusuma tak lain hanyalah manusia biasa yang berusaha menjaga alam dengan ketekunannya. Kepandaian naturalisnya menjadikan bunga Wijaya Kusuma yang harum tetap lestari. Bahkan dikenal sebagai bunga perintis raja-raja.

Aku pun merasakan bahwa bunga Wijaya Kusuma memberikan kekuatan dan kewibawaan karena rasa percaya diriku yang lebih baik sejak kutempa diri di waktu yang panjang. Tidak semata-mata hal mistis yang diyakini masyarakat selama ini. Ya, aroma harum akan menambah kepercayaan diri seseorang. Itulah sebabnya kita menyukai semua yang berbau harum.

“Maafkan Ananda, Ayah, Ibunda.” Aku berlutut memberi salam takzim kepada kedua orangtuaku itu.

Seluruh luka batinku sembuh seketika bersamaan dengan pelukan orang tuaku. Sejarah terkadang membawa luka, akan tetapi penelusuran sejarah bisa membawa kesembuhan besar bagi tragedi jiwa.

Akhir yang indah dan bahagia di Pulau Majeti, Nusakambangan.


link cerita asli :

6 komentar:

  1. aku suka adegan baku hantamnya kak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe..kebanyakan baca novel senopati pamungkas jadi lebih ngalir kalo adegan pendekar kak

      Hapus
  2. Happy ending ;), hwaa rapi tulisanya kak saluut

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih..Kebetulan pake lapie..pdhl biasanya lewat hp 😊😊

      Hapus
  3. Berasa ngebaca cerita beneran... 😍

    BalasHapus