Cerita Rakyat dari Kabupaten Cilacap
{dengan modifikasi ending sesuai tantangan ODOP Batch 7 Minggu ke-4 }
Oleh :
Ika Ratnani
Luka meradang karna ganasnya sejarah
Hati pun terkoyak menjadi remah
Jiwa merapuh tersiram petra amarah
Di tepian Sungai Serayu, mataku
memandang lurus ke arah horison. Sepoinya angin timur tak mampu meredam hati
yang pilu bak tersayat sembilu dan dirajam batu. Ayah dan Ibuku telah dibunuh
oleh Djoko Puring sejak aku kecil dulu. Aku bahkan tidak tahu kalau ibuku telah
didorong Djoko Puring, terjatuh dan berubah wujud menjadi kembang Wijaya
Kusuma. Amarahku membuncah. Tanganku terkepal, gigiku gemeletuk begitu kerasnya.
Aku harus menuntut balas atas kematian kedua orang tuaku. Sesaat kemudian, aku
bergegas melangkahkan kaki ke pusat Kadipaten Bonokeling, menemui kakekku, sang
Adipati Bandapati.
“Tekadku sudah bulat, Kakek.
Ijinkan hamba menuntut balas kepada Djoko Puring.”
“Oh ... Angger Danumoyo, Anakku. Aku tidak bermaksud membuatmu menuntut
balas setelah kuceritakan kisah kedua orangtuamu. Namun, restuku akan selalu
menyertai engkau kemanapun engkau pergi, Nak. Bawalah keris Giling Wesi ini dan
Paman Arjo Bangun sebagai pendampingmu.”
Tangan Kakek Adipati Bandapati
bergetar saat menyerahkan sebuah keris ke tanganku. Matanya berkaca-kaca
memandangku. Kukuatkan hati lalu dengan sigap segera kuterima keris itu dan
memohon pamit untuk melakukan perjalanan ke arah barat.
Paman Arjo Bangun begitu setia
mendampingiku sejak kecil. Apapun kebutuhanku, Paman Arjo Bangun selalu
berusaha memenuhi. Senang ataupun sedih, Paman Arjo tahu suasana hatiku. Saat
ini pun pengasuhku itu bersedia menemaniku mencari kebenaran kisahku. Semak
perdu dan hutan lebat yang menghadang selama perjalanan dilaluinya tanpa
mengeluh.
---
Ribuan tombak kemudian, di sebuah
pantai melengkung dan banyak penyu, kulihat seorang tinggi besar berpakaian
putih-putih seolah menantiku. Sosoknya berwibawa. Terdengar ia menggumam, “Aku
menantimu sejak lama, Danumoyo.”
Aku kaget. Darimana orangtua itu
tahu namaku.
“Akulah Djoko Puring yang engkau
cari selama ini.”
Suara berat yang keluar dari
lelaki berpakaian putih itu membuat dadaku bergetar. Jeri dan amarah datang
bersamaan. Aku kalap. Segera kuterjang Djoko Puring tanpa kuda-kuda terlebih
dahulu.
“Engkau telah membunuh kedua
orang tuaku, Djoko Puring. Terimalah pembalasanku.” Teriakku penuh kesumat.
Djoko Puring hanya tersenyum.
Segera saja kulayangkan kepalan tinjuku ke arah tubuhnya. Sayang, ia lincah
menghindar. Rambutnya yang telah memutih mungkin saja mengajarkannya kesabaran
untuk menghadapi lawan muda penuh gejolak sepertiku. Namun, aku tak mau
terkecoh. Strategi perlawanan kuubah menjadi pelan namun penuh perhitungan.
Sasaranku adalah kaki Djoko Puring. Tinjuku kuarahkan ke kanan, tapi kakiku
menghentak kaki kiri Djoko Puring. Satu kali teknik bertarungku berhasil.
Begitu jurus kelima, Djoko Puring seakan telah mengetahui langkahku. Ia kembali
menghindar. Sesekali ia menangkis perlawananku dengan cara yang lembut.
Dalam hati aku bertanya-tanya,
“Kenapa lunak sekali ia melawanku?”
Sikap tarik ulur Djoko Puring
dalam pertempuran makin membuatku penasaran. Gerakanku makin tanpa arah karena
emosi. Di titik terlemahku, tiba-tiba Djoko Puring memberikan pukulan telak di
rahang kanan. Aku oleng. Tubuhku ambruk dengan darah memuncrat dari mulutku.
Paman Arjo Bangun berlari memapahku.
Ia segera membawaku menjauhi bibir Pantai Teluk Penyu. Tubuhku yang remuk redam
terus dibopong ke arah timur hingga aroma laut menghilang sama sekali.
“Aku malu, Paman.” Ujarku kepada
Paman Arjo Bangun.
“Sabar, Den.” Jawabnya takzim
sambil mengobati lukaku.
Setelah beberapa hari dirawat, aku
berniat menenangkan diri.
“Aku akan naik gunung, Paman.
Tunggulah sampai aku kembali.”
Paman Arjo hanya memandang punggungku
tanpa berucap sepatah katapun.
---
Bumi menjadi saksi sejarah diri
Betapa gigih kepal tangan menempa arti
Merangkai keping hati
Meraih pribadi madani
Di sebuah gua, aku terduduk.
Kebingungan melanda pikiranku. Kekalahan dari Djoko Puring membuatku hancur.
Namun, daripada bengong kuputuskan melatih jurus-jurus kanuragan semampuku.
Berhari-hari tubuh ini kulatih dan kutempa agar bisa lebih baik. Badan gempalku
lama kelamaan menyusut. Kurang tidur dan kurang makan akhirnya membuatku
kelelahan dan tertidur pulas di suatu siang.
Aku bermimpi. Seorang wanita
bergelung khas dari Bonokeling hadir dalam tidurku. Mungkinkah ia sosok
ibundaku? Aku memandangnya penuh kekaguman.
Katanya, “Carilah Pulau Majeti.
Di ujung timurnya akan kaudapati kembang Wijaya Kusuma yang akan memberikanmu
kekuatan dan kewibawaan.”
Mataku terbuka. Tak ada siapapun
di gua selain aku sendiri. Tanpa pikir panjang, kulangkahkan kaki menuruni
gunung. Tujuanku adalah pulau Majeti.
Paman Arjo Bangun sumringah
melihatku dari kejauhan. Tergopoh-gopoh ia menyongsong kedatanganku.
“Ayo Paman kita cari Pulau
Majeti.” Ajakku segera setelah bertemu Paman Arjo.
Meskipun terlihat bingung melihat
semangatku, Paman Arjo menjawab, “Mari ke barat, Raden. Kita telusuri selatan
Nusakambangan untuk mencari pulau itu.” Saran Paman Arjo Bangun.
---
Setelah berada di selatan pulau
Jawa, aku dan Paman Arjo Bangun menyusuri sepanjang pantai. Tampak tebing hitam
di sebelah timur. Senja yang temaram membuat segalanya gelap. Tidak terkecuali
ketika langkahku terhenti di taman bunga. Sebuah bunga memikat hatiku. Warnanya
putih makin berkilau terpapar cahaya purnama. Kelopak bersusunnya nampak anggun
mengangguk disapa bayu. Kupetik salah satunya lalu kuletakkan di dalam balutan
kain batik. Aku yakin inilah pulau Majeti yang dimaksud dalam mimpiku.
Berbekal keberanian penuh, aku
kembali ke tempat Djoko Puring. Redup sinar purnama membawaku menemui orang
yang kupikir telah mengambil hidup ayah dan ibuku.
“Bersiaplah engkau wahai Djoko
Puring.” Teriakku kemudian.
Tanpa jeda, kulayangkan kembali
jurus-jurus andalan. Satu persatu pukulanku mengenai Djoko Puring. Serasa
memperoleh kekuatan baru, tenagaku berlipat kali ganda hingga Djoko Puring
kewalahan menghadapiku. Ketika Djoko Puring lengah, kuambil keris Giling Wesi
lalu kuhunus dan kuarahkan ke dada Djoko Puring. Namun, tiba-tiba terdengar
suara bersamaan dari arah depan dan belakangku.
“Tunggu, Danumoyo.” Hampir
bersamaan Djoko Puring dan Paman Arjo Bangun berusaha menghentikanku.
“Danu, aku adalah ayahmu. Keris
Giling Wesi itu buktinya.” Ujar Djoko Puring cepat.
Gerakanku terhenti. Bimbang
menyergapku. Paman Arjo Bangun dari arah belakang memegang bahuku dan berkata,
“Betul, Raden. Dengarkanlah penjelasan Raden Djoko Puring.”
“Mungkin engkau mendengar bahwa
ayahmu, Raden Pucangkembar dan Raden Ayu Bandawati terbunuh ditanganku. Bahkan
orang menganggap aku telah menyebabkan ibumu terjatuh di pulau Majeti lalu
mengubah wujud menjadi kembang Wijaya Kusuma. Cerita itu tidak benar, Anakku.
Ibumu masih hidup. Ialah yang membuat taman bunga Wijaya Kusuma di Pulau Majeti
itu.” Ungkap Djoko Puring perlahan.
“Tidak mungkin engkau ayahku.”
Jawabku kepada lelaki berbaju putih itu.
“Engkau memiliki pusakaku, keris
Giling Wesi. Lihatlah dibagian ujungnya, akan kau lihat lambang Kembang Wijaya
Kusuma terukir di sana.” Kata Djoko Puring.
Kutelisik keris Giling Wesi dan
memang kutemukan ukiran bunga dengan kelopak bertumpuk seperti yang kulihat
semalam. Badanku gemetar, lalu lemas bersimpuh.
“Raden Pucangkembar adalah utusan
yang kuperintahkan untuk meminang ibumu untukku. Namun, ternyata ia lalai.
Kakekmu menganggap bahwa Pucangkembar sebagai pemenangnya hanya karena ia
memiliki keris Giling Wesi milikku. Aku berusaha meminta pertanggungjawaban Pucangkembar,
namun ia memilih menyerahkan nyawanya daripada menanggung malu. Sedangkan
ibumu, ia tidak jatuh dan menjadi bunga Wijaya Kusuma. Aku menjaganya karena
aku sangat mengaguminya. Oleh karena itu, kuhadiahkan pulau Majeti sebagai
tempat tinggalnya. Dari ketekunan tangannya, bunga langka Wijaya Kusuma tumbuh
subur.” Djoko Puring lalu menarik nafas panjang.
“Ibuku masih hidup?” penuh
keheranan aku bertanya kepada orang yang mengaku ayahku.
“Aku di sini, Nak.” Seorang
perempuan bersanggul khas Kadipaten Bonokeling menghampiriku. Sangat cantik dan
mempesona. Aku mengenali alis tebalnya seperti milikku.
“Ibunda, engkaukah itu?” tanyaku
tak percaya.
“Ibu menunggu kedatanganmu selama
ini, Danu. Raden Djoko Puring adalah ayahmu. Kepadanya kuminta untuk berbelas
kasihan agar tidak menyerang engkau di pertempuran terdahulu.”
Sekarang jelas rasa penasaranku
kenapa Djoko Puring melawanku tak sepenuh hati. Ia begitu lunak karena ia
ayahku.
“Bagaimana mungkin ia adalah
ayahku, Ibunda?” tanyaku kepada ibu.
“Ketika Pucangkembar meninggal,
aku dan ayahmu tinggal di Nusakambangan ini. Setelah engkau lahir, aku mengutus
Paman Arjo Bangun membawamu ke Kadipaten Bonokeling untuk mengikat hubungan
darah antara aku dan ayahku, agar keturunan Adipati Bandapati tetap lestari,
Nak.”
Kutatap Paman Arjo Bangun meminta
pembenaran darinya. Ia hanya tersenyum dan mengangguk.
“Lalu kenapa kakek menceritakan
yang buruk tentang Djoko Puring terhadapku?” rasanya masih tak percaya
kupandang ibuku.
“Itu adalah permintaanku, Nak.
Bayangkan Pucangkembar yang memenangkan sayembara telah meninggal, dan aku
bersama ayahmu kembali ke Kadipaten Bonokeling. Kewibawaan kakekmu
dipertaruhkan, Nak.”
Perlahan aku mulai memahami
perkataan ibuku. Djoko Puring adalah penguasa wilayah selatan yang bertanggung
jawab. Bahkan setelah Pucangkembar wafat, ia masih mau menerima ibuku menjadi
pendampingnya selama ini. Sedangkan, Raden Ayu Bandawati yang kata orang telah
menjelma menjadi bunga Wijaya Kusuma tak lain hanyalah manusia biasa yang
berusaha menjaga alam dengan ketekunannya. Kepandaian naturalisnya menjadikan bunga Wijaya Kusuma yang harum tetap lestari. Bahkan dikenal sebagai bunga perintis raja-raja.
Aku pun merasakan bahwa bunga Wijaya Kusuma memberikan kekuatan dan kewibawaan karena rasa percaya diriku yang lebih baik sejak kutempa diri di waktu yang panjang. Tidak semata-mata hal mistis yang diyakini masyarakat selama ini. Ya, aroma harum akan menambah kepercayaan diri seseorang. Itulah sebabnya kita menyukai semua yang berbau harum.
Aku pun merasakan bahwa bunga Wijaya Kusuma memberikan kekuatan dan kewibawaan karena rasa percaya diriku yang lebih baik sejak kutempa diri di waktu yang panjang. Tidak semata-mata hal mistis yang diyakini masyarakat selama ini. Ya, aroma harum akan menambah kepercayaan diri seseorang. Itulah sebabnya kita menyukai semua yang berbau harum.
“Maafkan Ananda, Ayah, Ibunda.”
Aku berlutut memberi salam takzim kepada kedua orangtuaku itu.
Seluruh luka batinku sembuh seketika bersamaan dengan pelukan orang tuaku. Sejarah terkadang membawa luka, akan tetapi penelusuran sejarah bisa membawa kesembuhan besar bagi tragedi jiwa.
Seluruh luka batinku sembuh seketika bersamaan dengan pelukan orang tuaku. Sejarah terkadang membawa luka, akan tetapi penelusuran sejarah bisa membawa kesembuhan besar bagi tragedi jiwa.
Akhir yang indah dan bahagia di
Pulau Majeti, Nusakambangan.
link cerita asli :
aku suka adegan baku hantamnya kak
BalasHapusHehe..kebanyakan baca novel senopati pamungkas jadi lebih ngalir kalo adegan pendekar kak
HapusHappy ending ;), hwaa rapi tulisanya kak saluut
BalasHapusMakasih..Kebetulan pake lapie..pdhl biasanya lewat hp 😊😊
HapusBerasa ngebaca cerita beneran... 😍
BalasHapusMakasiih kak fathin
Hapus