Selasa, 01 Oktober 2019

Perisai Hati

Ardhan memegangi pelipis dengan kedua tangannya. Nyeri kepala yang dirasakannya hari ini ingin dipendamnya dan tak ingin ia bagi dengan orang lain. Baginya cukup ia yang merasakan dan berpikir biarlah orang lain melihatnya selalu tersenyum dan gembira. Ardhan lalu menarik nafas panjang. Setelah beberapa detik ia memijat kening, Ardhan kembali masuk ke ruang kelasnya lalu berganti pakaian olahraga.

Rutinitas pelajaran olahraga adalah berlari keliling sekolah sejauh satu setengah kilo meter. Seluruh siswa pun berbaris rapi menunggu giliran untuk berlari. Tiba giliran Ardhan, langkah jenjangnya mengayun perlahan. Kaki-kaki panjangnya menapak pasti setiap jalan yang dilewati. Berkeliling sekolah seperti saat ini merupakan kegiatan refreshing  yang menyenangkan. Tak perlu mengobrol kanan kiri, Ardhan begitu menikmati kesendiriannya.

“Ayo jangan melamun.” Dorong Wahib dari belakang sambil tertawa. Tubuh gempal Wahib bersinggungan dengan tangan kerempeng Ardhan. Sontak, Ardhan melotot tak senang. Kesempatan menikmati kesendirian terganggu.

“Apa sih?!” Jawab Ardhan ketus kepada Wahib yang sering menggodanya.

“Becanda, Dhan. Ayo lari lagi.” Wahib tersenyum kembali. Mau tak mau Ardhan membalas senyum kawannya tersebut dan melanjutkan lari kecilnya. Ardhan berusaha memaklumi teman-temannya yang selalu mengganggu kesendiriannya. Bagi mereka Ardhan aneh karena lebih suka berdiam diri. Namun, Ardhan pun berusaha memaklumi keisengan mereka karena berharap mereka bakal menjauhinya.

Hampir delapan puluh menit, kegiatan olahraga yang menguras energi Ardhan pun berakhir. Dua jam pelajaran ke depan, kelas Ardhan mendapat tugas membuat tulisan inspiratif. Kebetulan guru bahasa Ardhan sedang menerima tamu penting sehingga kelas menjadi riuh.

“Woi, Ardhan memangnya kamu bisa menulis cerita inspiratif?” tanya Wahib kembali meledek Ardhan.

“Ya. Bisa.” Jawab Ardhan singkat.

“Lihat dong, jangan pelit lah. Kata bu guru kan boleh saling berbagi contoh.” Wahib mendekati Ardhan dan langsung mengambil buku Ardhan.

Ardhan yang merasa harga dirinya ditampar. Ia tersinggung. Spontan Ardhan menggebrak meja dan berjalan ke luar kelas. Di depan kelas, Ardhan memukul tembok begitu keras. Teman-teman Ardhan kemudian terdiam. Mereka saling berpandangan dan kebingungan. Niat Wahib yang sekedar bercanda malah membuat Ardhan terluka.

“Ada apa, Nak? Kenapa kamu memukul tembok?” Sapa halus Bu Sri pada anak didiknya.

“Ibu, teman-teman saya menggoda terus, Bu. Saya capek. Saya bertahan untuk tidak emosi. Tapi…” Belum selesai kalimat Ardhan, air mata mengalir deras.

“Tenanglah. Ayo ikut Ibu ke mushola ya, Nak.” Perlahan Bu Sri menuntun Ardhan.

“Kenapa kamu tidak menyampaikan langsung ke Wahib kalau kamu marah, Nak?” Lemah lembut suara Bu Sri kepada Ardhan. Sisi ruang hati Ardhan terdalam pun terketuk. Sepanjang ingatannya, ia tidak pernah ditanyai sebegitu menyentuh, bahkan oleh orang tuanya. Kali ini, Ardhan merasa malu sekaligus merasa damai oleh ketulusan guru yang ada dihadapannya.

“Saya tidak mau, Bu. Biarlah mereka mengejek saya.” Jawab Ardhan yang masih terisak.

“Nah, apa kamu mau membiarkan hal itu terus menerus?” Kening Bu Sri berkerut mendengar jawaban  Ardhan selanjutnya.

“Tidak, Bu.” Ardhan menjawab singkat lalu menyeka sisa air matanya.

“Bu, kalaupun saya diperlakukan tidak baik, itu karena saya berusaha mengurangi pergaulan dengan mereka. Saya ini mudah tersinggung, Bu. Saya hanya berjaga-jaga agar saya tidak menjadi pemarah seperti Ayah.” Ardhan menarik nafas panjang setelah berbicara mengenai Ayahnya.

“Memangnya Ayahmu pemarah seperti apa, Ardhan?” selidik Bu Sri kepada anak didiknya itu.

“Ayah sering marah ketika saya melakukan kesalahan kecil. Tangannya begitu ringan. Bahkan saat Ayah marah, beliau memukul saya tanpa pikir panjang. Saya tahu bahwa saya salah, Bu.

“Memangnya apa kesalahanmu sampai Ayahmu sedemikian marah?” Rasa penasaran membuat Bu Sri terus bertanya.

“Sepele, Bu. Saya diminta menjaga adik kecil. Kebetulan adik saya bermain bola dan terjatuh. Ayah tanpa bertanya langsung memukul dan menampar saya. Oleh karena itu saya memilih diam, Bu. Meskipun hati saya sakit, saya ijinkan Ayah memukul saya yang lalai menjaga adik.” Jelas Ardhan kepada Bu Sri.

Mata Bu Sri berkaca-kaca mendengar kisah pilu Ardhan. Hatinya terkoyak. Di balik sikap Ardhan yang menyendiri, keinginan menahan amarah di dalam diri Ardhan warisan Ayahnya mengetuk nurani Bu Sri untuk membantu Ardhan memikul kesedihan.

“Sabarlah, Nak. Ibu tahu betapa engkau menghormati Ayah dan mencintai adikmu.” Bu Sri meraih punggung Ardhan dan memberinya kekuatan.

“Tak apa-apa, Bu. Ardhan akan berusaha menahan semua ini. Ardhan akan diam dan akan selalu berusaha membuat Ayah bangga.” Tatap Ardhan kepada Bu Sri untuk meyakinkan guru kesayangannya itu.

“Baiklah, Nak. Ibu percaya kamu kuat. Kamu adalah anak terbaik Ayahmu, bahkan kesabaranmu melampaui Ayahmu, Nak. Shalatlah lebih dulu kemudian kembalilah ke kelas. Siapa tahu teman-temanmu sudah menyadari kesalahannya. Sabar ya, Nak.” Nasehat Bu Sri didengarkan dengan seksama oleh Ardhan . Setelah selesai berbicara, Ardhan memohon ke berwudu dan kembali ke kelasnya dengan sedikit kelegaan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar