Minggu, 29 September 2019

Apakah Lanjut? Atau tereliminasi?

Kali ini, saya benar-benar buntu. Mau nulis apa? Mau buat cerita apa? Pasalnya, di hari ke dua puluh dua mengikuti tantangan Komunitas ODOP - One Day One Post, saya mulai kebingungan membuat bahan tulisan. Di sisi lain, ada beberapa pekerjaan selain mengajar yang membutuhkan perhatian di luar jam kerja, dan itu berarti harus dikerjakan di rumah. Ah, mungkin ini sekedar alasan saja.


Pada kenyataannya, hampir seminggu, setelah kelelahan marathon melatih beberapa lomba, otak serasa full dan tak mampu berpikir. Alhasil, semangat membaca menurun. Saya sebetulnya yakin, ada korelasi positif antara membaca rutin dengan kemampuan menulis. Sayangnya, seminggu ini hanya satu buku yang berhasil saya lahap dengan tuntas.

Apakah saya harus mundur dari komunitas yang luar biasa itu? Betapa sayangnya jika saya harus mundur karena ketidakkonsistenan saya dalam menulis. Namun, dua minggu ke belakang betul-betul waktu yang paling menguras energi. Lagi-lagi, alasan ya gaes. Semestinya manajemen waktu pribadi ditata sedemikian rupa agar dapat berjalan seirama.

Bergabung dengan komunitas ODOP membuat wawasan saya di dunia kepenulisan semakin bertambah. Pakar-pakar menulis yang sudah menghasilkan banyak karya begitu rajin menyemangati dan berbagi ilmu. Inilah yang saya rindukan ketika bergabung dengan komunitas menulis lain. Tapi, hanya komunitas inilah yang mampu memberikan pencerahan luar biasa kepada saya.
Lalu, sekarang bagaimana?

Saya pasrah. Kalaupun harus tereliminasi setelah ini, saya akan terus belajar secara mandiri. Kalaupun masih bergabung, saya berharap dapat menimba ilmu seluas-luasnya kepada orang-orang yang lebih berpengalaman. Semoga ke depan, terus semangat belajar menulis, mengasah diri menjadi lebih baik lagi.

#edisibingung
#curhat

Pelatihan Pembuatan Media Pembelajaran Digital

Oleh :
Ika Ratnani

  • Dokumen pribadi



"Guru era milenial harus bisa menguasai teknologi sekaligus mampu menciptakan generasi yang tangguh menghadapi industri 4.0." Begitu yang disampaikan Kepala Balai Pengembangan Multimedia Pembelajaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (BPMPK),  Prof. Dr. Trisno Martono, M.M pada acara pembukaan Pelatihan Pembuatan Media Digital Kabupaten Cilacap yang dilaksanakan pada tanggal 28 - 29 September 2019 ini.

Pelatihan yang diadakan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cilacap bersama dengan BPMPK dan Komunitas Guru Menulis Kabupaten Cilacap ini merupakan jawaban atas kebutuhan guru-guru untuk lebih mengenal pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran. Tentunya, kegiatan pelatihan ini disambut meriah oleh kami para guru dibuktikan dengan jumlah peserta sekitar 180 orang. Tidak hanya dari Cilacap, beberapa guru dari kabupaten lain pun mengikuti acara tersebut.

Hari pertama pelatihan, materi disajikan secara klasikal sehingga beberapa dari kami menjadi terkantuk-kantuk. Namun, setelah rehat siang pemateri yang berasal dari Kabupaten Cilacap, Bapak Zaenal Arifin, S.Pd. suasana mulai bergairah. Kami diperkenalkan dengan aplikasi baru bernama Kahoot. Pada prinsipnya, penggunaan kahoot ini berbasis multimedia, laptop dan ponsel.

Pertama, kami diajarkan cara membuat soal di laman kahoot.com. Kemudian, setelah soal dibuat kami melaksanakan simulasi penggunaan kahoot bersama-sama. Dengan dibatasi waktu selama 20 detik kami diminta menjawab soal-soal mudah yang terpampang di layar putih. Semangat kami menggelegak begitu berkompetisi. Tawa canda mewarnai proses belajar kami karena memang aplikasi ini begitu menarik.

Selanjutnya, pemateri berikutnya memperkenalkan kami aplikasi plickers untuk pembuatan soal online juga. Namun, aplikasi ini memiliki kelebihan sangat mungkin diterapkan melihat kondisi banyak sekolah yang masih meminimalisir penggunaan ponsel oleh siswa. Aplikasi ini dapat digunakan dengan mudah setelah mendaftar secara gratis di laman plikers.com, membuat soal, dan mengunduh kartu plickers. Cara pemanfaatannya pun sangat mudah, yakni guru membagikan kartu jawaban berbentuk seperti barcode kepada siswa, siswa menjawab soal online hanya dengan mengarahkan kartu sesuai jawaban yang dianggap benar. Lagi-lagi kami makin semangat belajar karena makin kami tahu makin banyak hal yang tidak kami ketahui.

Hari kedua pelatihan, materi yang disampaikan masih serupa namun dengan aplikasi berbeda. Kali ini, diperkenalkan penggunaan aplikasi ujian berbasis CBT (Computer Based Training) yang sayang sekali kurang maksimal karena file terlalu besar dan proses instalasi memakan waktu lama sehingga ketika diterapkan dalam pelatihan, banyak dari peserta cukup kewalahan. Namun, berbekal program aplikasi yang sudah dibagikan tentunya kami siap belajar mandiri.

Materi terakhir adalah pemanfaatan aplikasi vicon (video conference) dalam pembelajaran. Aplikasi ini lagi-lagi berbasis multimedia, baik laptop maupun ponsel. Melalui aplikasi Cisco WebEx Meeting kami belajar mengelola pembelajaran jarak jauh. Menyenangkan akan tetapi apabila diterapkan kendala sinyal harus dipertimbangkan. Namun, setidaknya "guru ndeso" seperti saya makin melek teknologi.
Setelah seharian "ngangsu kawruh" belajar dari para master teknologi, sebersit tanda tanya muncul dalam benak. Apakah penggunaan teknologi ini mampu menjawab permasalahan pendidikan? Kami masih harus berjuang menanamkan karakter di tengah-tengah derasnya pengaruh-pengaruh teknologi, baik positif maupun negatif.

Yang pasti, apapun yang kami pelajari hari ini semoga dapat melipatgandakan kesiapan guru-guru menghadapi kemajuan jaman. Kesan gaptek, zaman "old" dan hal lain yang sekiranya membuat kami merasa tertinggal semoga bisa diminimalisir dengan adanya pelatihan-pelatihan serupa.

Sabtu, 28 September 2019

Sebuah Karya dari Bumi Ngapak

Sebuah Resensi Buku Karya Ahmad Tohari
Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama; 88 hlm; Cetakan keduabelas, 2019

Foto : Dokumen pribadi


Awal mengenal judul buku ini berasal dari seorang teman. Rekomendasi buku Ahmad Tohari darinya mengusik penasaranku. Katanya, buku berjudul Senyum Karyamin ini piawai mendeskripsikan suasana secara detil. Berbekal informasi tersebut, pucuk dicinta ulam pun tiba, buku yang dicari ketemu di Gramedia kota Satria.

Buku ini merupakan kumpulan tiga belas cerpen karya Ahmad Tohari dari tahun 1976 hingga 1986. Salah satu yang membuat saya tertarik karena latar belakang geografis sang penulis yang sama. Setting wilayah perbukitan kapur sekitar Wangon, Banyumas terasa erat. Demikian juga tema kesederhanaan orang desa yang konsisten disajikan dalam cerita-cerita pendeknya, menginspirasi saya bahwa bahagia itu sederhana, cukup berpikir lurus dan tidak neko-neko.

Cerpen pertama berjudul SENYUM KARYAMIN.
Konflik cerita berlatar seorang buruh pengumpul batu di tepi sungai bernama Karyamin yang berusaha menjalani kehidupannya sebagai seorang buruh sebaik mungkin. Pekerjaan kasar yang dijalani para pengumpul batuan sarat dengan kekecewaan sehingga setiap kali mereka mencari kebahagiaan dengan menertawakan diri mereka sendiri. Berbeda dengan kebanyakan, Karyamin hanya tersenyum. Bahkan ketika dalam keadaan hampir pingsan dan lapar, ia mendapati istrinya bersama dengan Pak Pamong yang sedang menagih sumbangan dana kemiskinan Afrika. Karyamin yang tak memiliki uang sepeserpun hanya bisa tersenyum. Senyum Karyamin yang khas malah dianggap sebagai ejekan. Saking bingungnya Karyamin tertawa terbahak-bahak hingga akhirnya rubuh tergelincir ke arah lembah tanpa bisa ditahan oleh Pak Pamong.


Cerpen kedua berjudul JASA-JASA BUAT SANWIRYA.
Lagi-lagi latar kemiskinan mengasah pilihan diksi Ahmad Tohari yang sederhana dan lugas namun penuh perenungan. Di tengah sakaratul mautnya Sanwirya yang jatuh ketika menderes (menyadap nira), Ranti, Sampir, dan Waras malah mendiskusikan jasa yang akan mereka lakukan agar Sanwirya berhutang budi pada mereka. Ironis, betapa kebodohan akhirnya malah membuat nyawa Sanwirya melayang.


Cerpen ketiga berjudul SI MINEM BERANAK BAYI.
Wajar sekali bila seorang perempuan melahirkan seorang bayi, bukan? Akan tetapi, lingkungan tandus dan minim air sangat berbahaya bagi ibu hamil. Apalagi si Minem adalah perempuan berumur 14 tahun dan melahirkan anak dalam kondisi prematur. Suaminya, Kasdu merupakan tipikal lelaki desa yang tidak tahu bahwa proses kawin bisa membuat istrinya, si Minem mengandung si jabang bayi. Potret desa dengan fenomena pernikahan dini diangkat Ahmad Tohari dengan apik dan begitu sederhana.


Cerpen keempat berjudul SURABANGLUS.
Surabanglus itu nama lain dari singkong yang beracun. Kimin dan Suing yang pekerjaan sehari-hari mencari kayu di hutan, lantas dikejar-kejar polisi Karhutla karena tidak memiliki karcis dan ijin. Di tengah pengejaran, Suing pingsan. Surabanglus yang ditemukannya dimakan tanpa berpikir panjang. Kimin yang tidak tega, berlari ke arah persil, mencari warung dan menukar goloknya untuk sesuap nasi bagi Suing. Naas, Suing yang ditinggal dalam keadaan lapar, malah menghabiskan seluruh surabanglus hingga mati. Lagi-lagi penindasan kaum birokrat kepada si miskin diangkat Ahmad Tohari dalam ceritanya.


Cerpen kelima berjudul TINGGAL MATANYA BERKEDIP-KEDIP.
Tokoh utama cerpen ini adalah Cepon, seorang kerbau milik petani yang mangkrak. Sang pemilik Cepon akhirnya memutuskan memanggil Musgepuk, pawang hewan terbaik di kampung, untuk membuat Cepon mau membajak lagi. Bukannya berhasil, Musgepuk yang hendak memasangkan kaluh (tali kekang di hidung kerbau) membuat Cepon ambruk. Darah yang menggenang di lumpur seakan menjadi saksi bahwa Musgepuk kali ini gagal sebagai pawang. Cerita berakhir dengan kematian si Cepon.


Cerpen keenam berjudul AH, JAKARTA.
Sebuah nilai persahabatan antardua anak pencari rumput yang menjalani hidup sebagai buruh dan seorang lagi sebagai gali (pencuri; preman) disajikan dengan apik. Seorang gali yang mengalami kecelakaan setelah merampok, akhirnya lolos dari kejaran polisi dan singgah di rumah karibnya. Setelah semalam menginap, si gali pergi hingga seminggu kemudian si karib menemukan temannya si gali telah mengapung di Sungai Serayu. Berbekal kenangan dan persahabatan yang tulus, si karib menguburkan si gali dengan cara selayaknya di tepian Sungai Serayu.


Cerpen ketujuh berjudul BLOKENG.
Blokeng yang kurang waras tiba-tiba hamil dan melahirkan bayi perempuan. Seluruh penduduk kampung saling curiga melihat satu sama lain. Blokeng yang ditanya siapa bapak dari si bayi hanya menjawab mbuh-mbuh. Di lain kali malah menjawab lelaki pembawa senter, atau lelaki yang tidak botak seperti Pak Lurah. Kata-kata Blokeng seolah menjadi penanda keblingsatan desa yang sulit berpikir rasional dalam menanggapi permasalahan Blokeng. Lucu. Kesan dalam cerpen ini cukup mendalam.


Cerpen kedelapan berjudul SYUKURAN SUTABAWOR.
Sutawabor sang pemilik pohon jengkol akhirnya bersyukur pohon jengkolnya berbuah lebat. Awalnya pohon jengkolnya mandul sehingga Sutabawor ingin menebangnya. Lalu mertuanya mengajarkan mantra srana yang kemudian hari membuat pohon jengkol berbuah sangat lebat. Sisi kesantrian Ahmad Tohari mulau muncul didalam cerpen. Kritik antara agama dan kepercayaan lokal digunakan Tohari sebagai bahan perenungan. Hasilnya pun luarbiasa, pencerahan setelah membaca cerpen ini.


Cerpen kesembilan berjudul RUMAH YANG TERANG.
Esensi cerita berkisar tentang listrik. Kemajuan teknologi awal tahun 80-an ditandai dengan masuknya listrik di pedesaan. Haji Bakhir yang tak mau memasang listrik sontak menjadi bahan bulan-bulanan penduduk sekitar. Bagi Haji Bakhir, meminimalisir cahaya listrik akan menghadirkan hemat cahaya, sehingga di alam kubur, tersedia cahaya yang cukup baginya. Pemikiran yang sederhana namun disertai perenungan nilai agama yang mendalam.


Cerpen kesepulun berjudul KENTHUS.
Kenthus yang bermimpi naik harimau atau nunggang macan, seolah seperti menerima kekuasaan besar ketika Pak Lurah menunjuknya sebagai penanggungjawab pengepul buntut tikus. Tugas yang dianggapnya sebagai wahyu cakraningrat membuatnya jumawa sehingga istrinya menjadi marah.


Cerpen kesebelas berjudul ORANG-ORANG SEBERANG KALI.
Dua dusun satu kampung hanya dibatasi sebuah jembatan  batang pinang. Kampung seberang jembatan batang pinang suka sekali dengan adu jago. Botohnya, Madrakum suatu saat sakaratul maut. Si Samin kemudian meminta bantuan penduduk seberang untuk mendoakan Madrakum yang tidak mati-mati. Setelah dibacakan Surat Yasin, Madrakum yang semula lunglai, mampu berdiri gagah dan berkokok lantang seperti ayam jagonya. Begitu berputar-putar seolah mau adu jago, tubuhnya ambruk, tak bernyawa lagi.


Cerpen keduabelas berjudul WANGON JATILAWANG.
Perilaku modern masyarakat perbatasan Wangon Jatilawang yang sering dilalui kendaraan ke arah Jakarta, mendorong muncul cerita tentang Sulam. Kebaikan hati seorang pemilik warung makan membuat Sulam selalu datang tiap pagi meminta sarapan. Hingga suatu waktu di bulan puasa, Sulam yang yatim piatu merasa sedih tak punya baju baru. Si pemilik warung makan yang iba menjanjikan sebuah baju bagi Sulam di lebaran nanti. Sayang, dalam perjalanan pulang Sulam tertabrak truk. Penyesalan tidak melakukan kebaikan bagi Sulam oleh pemilik warung menutup cerita Ahmad Tohari ini.


Cerita terakhir berjudul PENGEMIS DAN SHALAWAT BADAR.
Dari judulnya sudah nampak bahwa inti cerita adalah seorang pengemis yang bershalawat. Tokoh supir dan kondektur tempat pengemis berada digambarkan berperilaku pemarah. Bahkan si kondektur memaksa pengemis keluar saat bis sedang melaju. Sayang, ditengah perjalanan bis oleng dan masuk ke areal persawahan. Seluruh penumpang dan kondektur juga supir terluka parah. Kecuali si pengemis yang terus bersenandung shalawat. Ia selamat tanpa kurang suatu apapun.


Ahmad Tohari mengusung nilai-nilai lokal masyarakat desa dalam ceritanya. Tokoh-tokoh yang disajikan betul-betul polos dan sederhana. Konflik yang ada lebih banyak bercerita tentang kebodohan, perselisihan dengan penguasa, bahkan dengan diri sendiri.

Sudut pandang yang digunakan dalam bercerita berganti-ganti. Kadang berasal dari sudut pandang orang ketiga, namun lebih banyak dari orang pertama. Bagi saya sendiri, model cerita seperti ini lebih menarik. Terlebih setiap cerita dibarengi refleksi dari tiap sudut pandang.

Penggunaan diksi dan pemilihan kata oleh Ahmad Tohari juga layak diapresiasi. Kemahirannya mendeskripsikan suatu hal membawa pembaca larut dalam suasana latar pedesaan berkapur nan tandus. Dari sinilah banyak makna terpetik, seperti :

"Mereka, para pengumpul batu itu, memang pandai bergembira dengan menertawakan diri mereka sendiri....Bagi mereka, tawa atau tersenyum sama-sama sah sebagai perlindungan terakhir. Tawa dan senyum bagi mereka adalah simbol kemenangan terhadap tengkulak, terhadap rendahnya harga batu, atau licinnya tanjakan."

Alih-alih meratapi nasib, Ahmad Tohari mengajak pembacanya berkaca dan menertawakan diri sendiri. Cukup menarik, di tengah banyak sinetron yang nyinyir dengan orang lain, Ahmad Tohari malah mengajak diri sendiri untuk ditertawakan. Sebuah kedewasaan sempurna.

"Supaya jiwa dan raga tidak tersiksa, aku selalu mencoba berdamai dengan keadaan. Maka kubaca semuanya dengan tenang."

Ternyata Ahmad Tohari mengenal karakter dan tokoh yang diceritakan seperti membaca. Karakter ia kuliti sampai terbaca semuanya. Inilah yang membuat cerita-cerita Ahmad Tohari begitu deskriptif. Luar biasa.

Over all, kumpulan cerpen Ahmad Tohari hampir mirip dengan Ronggeng Dukuh Paruk, Bekisar Merah, Di Kaki Bukit Cibalak, dan karya lainnya yang membawa imaji kita mengenali wilayah tinggalnya secara gamblang. Semoga Ahmad Tohari makin menginspirasi generasi muda saat ini dengan kesederhanaannya, kesantriannya, dan kepekaannya menangkap momen sedehara menjadi cerita luar biasa.

Jumat, 27 September 2019

Gembus, Si Donat Jawa

Oleh :
Ika Ratnani

Copyright by : tribunnews.com


Persiapan hajat besar sedang dilaksanakan Pak RT beberapa hari ini. Seluruh warga Kampung Laut ikut membantu agar acara pernikahan putra sulung Pak RT berjalan dengan baik. Tiap-tiap warga mendapat bagiannya masing-masing, ada yang mencuci beras, ada yang memotong cabe, ada pula yang mencuci piring. Semua membantu Pak RT tanpa pamrih, termasuk Karto Tuying dan keluarganya.

Malam ini Karto Tuying dan istrinya, Rohaeni pun anjang sana ke tempat Pak RT untuk membantu. Setiba di rumah Pak RT, Karto Tuying segera membantu menata kursi dan meja tempat para tamu. Tak ketinggalan, istrinya Rohaeni,  melangkah ke dapur untuk memasak.

"Bu RT, ini kok banyak sekali boled-nya (singkong)?" Tanya Rohaeni kepada istri Pak RT.
"Badhe ndamel gembus, Bu Karto." Jawab bu RT.
"Lah jaman internet masa mau menyuguhkan makanan tradisional, Bu RT?" Rohaeni tampak serius bertanya. Bu RT yang menyaksikan keheranan Rohaeni pun tersenyum dan menjawab,
"Lah..nanti kalo saya kasih Bu Karto pizza malah mules. Nda bisa dicerna malah susah to?" Lanjut Bu RT.
"Walah..eman-eman perut saya to Bu RT. Mending saya makan seperti gembus, mendoan, atau kampel saja lah. Resiko nanti lidah saya keseleo makan produk luar negeri, Bu." Rohaeni berbicara sambil memonyongkan bibirnya hingga terlihat lucu di mata Bu RT.


Setelah tersenyum melihat kepolosan Rohaeni, Bu RT kemudian menjelaskan kepada Rohaeni.
"Bu Karto, gembus itu warisan budaya khas Cilacap, khususnya masyarakat pesisir. Dahulu saat jaman penjajah, kurangnya makanan membuat kreativitas masyarakat muncul. Sulitnya mencari beras membuat mereka membuat olahan-olahan dari singkong. Kita sering dengar tiwul, gethuk, termasuk gembus dan lanthing to?" Bu RT menutup penjelasan dengan bertanya pada Rohaeni.
"Lah iya Bu RT. Betul itu, ada gethuk sama lanthing saya suka." Jawab Rohaeni.
"Tidak setiap saat kita bisa menikmati gembus, jadi nanti suguhannya saya siapkan itu Bu Karto." Lanjut Bu RT.

"Lagipula, gembus mudah membuatnya, tinggal singkong-singkong itu dipipil dan direbus setengah matang, lalu ditumbuk halus dan diberi bumbu. Baru dicetak memanjang untuk dibuat gulungan seperti donat dan digoreng. Mudah olahannya, to? Nanti bisa dimakan pakai pecel atau sambel saja, ndak perlu dikantheti. Pasti banyak yang suka ." Bu RT masih semangat panjang lebar menjelaskan.
"Nggih Bu RT berarti gembus itu donat jawa ya." Sambil terkekeh Rohaeni menyambung pembicaraan.
"Hehe..betul Bu Karto. Ayo mari kita ke dapur, siapa tahu sudah ada gembus yang matang dan bisa kita cicipi terlebih dahulu." Ajak Bu RT kepada Rohaeni.


Rohaeni begitu senang mendengar kata mencicipi makanan, baginya menikmati gembus yang jarang ia nikmati adalah kebahagiaan besar.



Note :
Badhe = akan
Ndamel = membuat
Eman-eman = sayang
Kanthet = tali dari bambu tipis

Ngrabuk Jiwo

Ardhan terdiam saat gurunya menyapa. Langkah Bu Arni bahkan terhenti melihat anak didiknya hanya mematung tanpa ekspresi. Matanya memandang ke depan sementara pikirannya melayang entah kemana. Setelah Bu Arni berdiri di depan Ardhan dan bertanya, barulah sahutan muncul dari mulut Ardhan.
"Gabut, Bu." Jawab Ardhan pada Bu Arni.


Kening Bu Arni mengkerut. Sebuah kata milik anak era milenial meluncur begitu saja dari mulut Ardhan. Bu Arni tertegun. Pikirannya mencoba mencerna. Lalu, Bu Arni memutuskan mengajak anak didiknya memasuki ruang kelas dan segera memulai pelajaran.
"Masuklah, Le. Ayo belajar." Ajak Bu Arni kepada Ardhan.


Di tengah asiknya diskusi para siswa, Ardhan seakan berkutat dengan pemikirannya sendiri. Celoteh kawan-kawan Ardhan tak dihiraukannya hingga tiba-tiba ia mengangkat jari. 
"Bu, Singapura ada salju tidak?". Tanya Ardhan serius.
Sontak teman-teman satu kelompok mencibir dan menyeringai. Sinisme yang berlebihan akhirnya dihentikan oleh Bu Arni demi menjaga mental si Ardhan. 

Copyright by : republika.id

"Baiklah, Ardhan. Ibu akan tanyakan satu pertanyaan sebelum menjawabmu. Kamu bawa atlas, Nak?" Tanya Bu Arni pelan.
"Bawa, Bu." Jawab Ardhan singkat.
"Tahukah kamu letak Indonesia? Dimana Singapura?" Tanya Bu Arni kembali.
"Di dekat garis khatulistiwa, Bu." Ardhan menjawab namun masih belum memahami.
"Nah, Indonesia itu sendiri memiliki iklim apa, Ardhan?" Lanjut Bu Arni menguji muridnya itu.
"Ah..tropis kan, Bu." Ardhan berbinar kembali.
"Nah, kalau iklim tropis apakah ada salju yang terjadi?" Kembali Bu Arni melempar pertanyaan kepada Ardhan.
"Ehm...mestinya tidak ada, Bu. Oiya, berarti Singapura pun tidak ada salju ya, Bu?" Akhirnya Ardhan mampu menjawab pertanyaannya sendiri.
"Nah, sudah mengerti ya." Jawab Bu Arni.


Dengan sepenuh hati, dilanjutkannya pokok bahasan hari itu hingga Ardhan mengangguk-angguk paham. Perlahan namun pasti, keterlibatan Ardhan di kelas meningkat.

Hingga bel berbunyi, murid-murid Bu Arni masih antusias belajar. Dengan bimbingan dan kerja tim, tugas yang diberikan oleh Bu Arni teratasi dengan baik. Bahkan Ardhan tak lagi gabut, melainkan mau terlibat dalam pembelajaran. Sampai ujung waktu, Bu Arni lalu menghela nafas pertanda satu tugas telah dilakukan. Ngrabuk jiwo atau memupuk jiwa-jiwa anak didiknya telah purna hari itu. Doa tulus Bu Arni agar mereka gemilang di masa depan menutup seluruh pengabdiannya untuk sehari. Semoga mereka bertumbuh dengan baik.

Kamis, 26 September 2019

Gitar Pengharapan Kania

Oleh : 
Ika Ratnani

Gitar hitam itu tak lagi berdenting. Onggokannya hanya menyesaki kamar belakang. Terdiam di sudut ruangan yang pengap dan penuh sesak kardus-kardus berisi barang-barang bekas sejak satu windu lalu.

Sudah tiga ratus enam puluh hari sejak Kania menggantungkan mimpi dan gitarnya. Semua yang ada di angan-angannya kini tak lagi hadir dan menggelora. Cita-citanya sebagai pemusik telah pupus. Kania hanya menjalani hidup serealistis mungkin. Kebutuhan keluarganya menjadi prioritas utama.


"Mau pesan apa, Mba?" Tanya Kania kepada pelanggannya.
"Pesan paket 1 untuk 5 orang ya, Mba." Sahut pelanggan gerai makanan siap saji terkenal kepada Kania.
"Oke Mba..segera diantar ya. Ini struknya." Kania menyerahkan bukti pembayaran secepatnya agar pelanggan berikutnya segera terlayani.


Di tempat pekerjaan yang baru, Kania mendapatkan penghasilan rutin yang mencukupi kebutuhan keluarganya. Setidaknya biaya pengobatan ayahnya yang sakit keras dan terbaring di tempat tidur selama setahun sedikit terpenuhi. Penghasilannya memainkan gitar dahulu, tak mampu menutup pengeluaran sehari-hari. Belum lagi biaya adik-adiknya yang masih berada di bangku sekolah. Demikian berat beban yang Kania tanggung. Ketiadaan sang ibu sejak adik kembarnya lahir mendorong Kania mengambil alih tugas sebagai pengasuh secara penuh.

"Kak, kenapa sekarang tak pernah bermain gitar dan bernyanyi untuk Raka lagi?" Tanya Raka kepada Kania.
"Kakak sudah tidak bisa bermain gitar lagi, Dik. Maaf ya." Jawab Kania sambil memandang adik kembarnya bergantian. Adik-adik kecilnya terdiam waktu Kania kemudian merangkul mereka dalam pelukan.
"Raka, Raya, Kakak mau kalian belajar sungguh-sungguh supaya Ayah dan Ibu bangga kepada kalian. Jangan tiru Kakak yang bahkan tidak bisa membelikan mainan pesawat terbang untuk kalian ya." Mata Kania berkaca-kaca melihat dua kembar hanya manggut-manggut seolah mengerti. Wajah polos adiknya makin membuat hati Kania trenyuh. Kania makin erat memeluk kedua adik kesayangannya Tekadnya membulat untuk membahagiakan orang-orang kesayangannya itu.


Esok harinya, Kania bekerja seperti biasa. Lalu lalang pelanggan tidak membuatnya lelah. Tanpa ia sadari, dua pasang mata mengamati kecekatan Kania melayani. Bagus dan Praba telah mengenal Kania meski tak secara langsung. Mereka mengenal Kania saat berselancar di media sosial. Mereka tertarik dengan kepiawaian Kania bermain gitar. 

Begitu Kania mendekat ke meja Bagus dan Praba, mereka menyapa.
"Apa kabar Kania?" Sapa Bagus kepada Kania.
"Maaf, apakah Kakak-Kakak sekalian mengenal saya?" Muka Kania penuh tanda tanya.
"Kami mengenal Anda lewat karya-karya Anda di media sosial. Permainan gitar Anda begitu menarik. Banyak penikmat musik yang menyenangi video dan lagu yang Anda buat, lho." Kalimat pembuka dari Bagus memperjelas rasa penasaran Kania.
"Ooh." Sepatah kata keluar dari mulut Kania disertai kebingungan.
"Pemain otodidak seperti Anda cocok bagi industri musik saat ini. Kami dari label industri musik besar. Apakah Anda tertarik bergabung dengan label kami?" Praba menawarkan kerjasama menggiurkan kepada Kania.


Sejenak, Kania bingung. Ia tak percaya, setelah kegagalan dan penolakan bermain gitar dimana-mana, tiba-tiba tawaran tak terduga datang. Kania bimbang, takut kena tipu daya.
"Anda tidak membohongi saya kan?" Ragu-ragu Kania bertanya pelan demi sopan santun.
Bagus dan Praba tertawa bersamaan. Lalu Praba berkata, "Jika Anda siap menyambut tawaran kami, saat ini pula kami akan transfer biaya kontrak sebesar seratus juta rupiah ke rekening Anda. Kami sungguh-sungguh, Kania."
"Betul, talenta Anda sangat disayangkan jika tidak dikelola dengan baik." Sambung Bagus menjelaskan.


Kania lalu menundukkan kepalanya. Hatinya mengarah ke surga, ia berusaha mencari kemantapan hati disana. Terbayang senyum ceria adik kembarnya kemudian. Seolah mendapat jawaban, Kania akhirnya menjawab, "Baiklah. Saya siap bergabung. Mohon bimbingannya." Sambil tersenyum Kania meraih uluran tangan Bagus dan Praba untuk bersalaman.


"Kami kirimkan sekarang juga sejumlah uang ke rekening Anda. Besok siang kami tunggu di studio untuk membahas debut pertama Anda." Praba sumringah melihat misinya merekrut seniman baru berhasil.
Kania hanya mengangguk tak percaya. Air matanya meleleh lirih bersamaan ucap syukur yang membuncah di hatinya.


Kania berlari-lari kecil menuju rumah tinggalnya. Ia segera ke kamar dan mencium takzim tangan ayahnya. Air mata Kania mengalir deras. Ia begitu bersyukur karena ia masih diberi kesempatan untuk menjaga ayah dan adik-adiknya. 

Kesempatan kedua yang datang kali ini tak akan disia-siakannya. Seberkas harapan memenuhi rongga dadanya kembali. Gitar hitam yang terlunta akan Kania gunakan lagi demi meraih mimpi yang tertunda.

Romantisme Tentangmu

Oleh :
Ika Ratnani

Copyright by : Lukisan pribadi Ika R

Entah seberapa lama getar hati ini untukmu. Ratusan purnama mungkin sudah kulalui, namun namamu masih sisakan nuansa indah di kalbuku. Terbayang muka piasku, waktu namamu muncul di layar ponselku. Cukup sebaris kalimat sapa darimu saja sudah membuatku termehek-mehek. Apalagi saat kau kirimkan gambar diri dengan sejuta pesonamu. Jujur, aku seperti terangkat ke surga. Melayang dan terbuai oleh perhatian yang kau berikan.


Sekilas wajahmu biasa saja. Barisan rapi rambut kecil nan legam di atas kelopak mata membuatmu terkesan galak. Belum lagi sorot matamu ketika memandang lawan bicara terkadang menakutkan. Bukan karena engkau bisa mengeluarkan sinar inframerah seperti Superman, namun kilau kecerdasan yang terpancar dari matamu begitu memukau. Mungkin mereka jeri dengan tajamnya analisismu setiap mereka menyampaikan sejuta tanya kepadamu.


Andai boleh kuungkapkan saat ini, dari sekian pesona yang engkau miliki, ada satu hal yang mampu menghadirkan amukan badai di hatiku, yaitu saat engkau tersenyum. Lengkung bulan sabit berhias dua lesung di pipi kanan dan kirimu seringkali membuatku gila. Tersentak-sentak jutaan kilowatt begitu kau lemparkan pesonamu yang satu itu. Apapun kondisiku, seluruh sel-sel tubuh ini selalu bergetar ketika engkau tersenyum. Dahsyat. Hingga nafasku kadang tersengal-sengal demi terus melihat senyummu.


Sungguh, segala penat dan lelahku selalu enyah ketika tawa candamu hadir di penghujung hariku. Bolehlah berjuta manusia di bumi menyakitiku, namun ketika engkau duduk bersamaku, serasa luruh semua luka dan bilur di sekujur tubuhku. Aku selalu bersyukur, mencintamu adalah anugerah di hidupku.


Teruntuk malaikat tanpa sayapku, terima kasih telah hadir menyertai langkahku. Menemani perjalanan panjangku dan segala keluh kesahku. Setiap hembus nafas ini selalu mendoakanmu, biarlah kebahagiaan melingkupimu. Abadilah dirimu.

Minggu, 22 September 2019

Fiksi Hidup

Oleh :
Ika Ratnani

Copyright by : hipwee.com


"Aku tidak ingin berandai-andai dengan masa lalu, Bu." Seru Ara pada ibu.
"Ara ingin menjalani saat ini penuh kesadaran dan berarti bagi orang lain meskipun cuma sebatas tulisan." Lanjutnya kemudian.
"Iya Ara, Ibu mengerti. Tidak ada satupun yang bisa menolak kehendak Yang Kuasa. Ibu dukung keputusanmu penuh, Nak. Namun, kondisi tubuhmu harus kau jaga baik-baik ya. Jangan terlalu larut malam lagi menulisnya." Ibu akhirnya terdiam dan keluar dari kamar Ara.


"Sepanjang hidupku menulis adalah satu-satunya pelipur. Setidaknya dengan kondisiku saat ini. Aku memilih jalan untuk merangkai kata menjadi kalimat, memaknai setiap kata untuk membangun jiwa, bahkan mencintai setiap proses lahirnya jalinan cerita dengan penuh suka cita. Aku yakin tulisan-tulisanku akan menemui pembacanya tepat pada waktunya. Hanya saja, aku perlu tekun mendekat padaNya agar tetap bisa berkarya." Ara melanjutkan tulisannya di buku harian di penghujung hari sebelum beranjak tidur.

"Ibu, Ara berangkat ke kantor dulu ya." Ara berpamitan pada ibu.
"Hati-hatilah di jalan dan apabila tubuhmu lelah, istirahatlah. Jangan kau paksakan diri lagi, Ara." Pesan ibu ketika kucium telapak tangannya yang keriput.
"Tenang, Ibu. Ara sudah kuat. Kaki Ara sudah tegak berdiri. Itu artinya Ara pasti mampu menjalani dengan baik hari ini." Ara berusaha untuk senyum paling manis menenangkan hati ibunya. Setelah melihat beliau tenang, Ara segera bergegas.


Acara kantor hari ini sangat padat. Semenjak pagi, acara bazar keperluan sembako dan pentas seni berlangsung meriah. Ara yang kebagian tugas menjaga stand juga sibuk melayani pembeli bahan pokok pangan yang dijual separuh harga. Hiruk pikuk ibu-ibu kelurahan sebelah membuat Ara bersemangat.
Saat istirahat, Ara mengeluarkan buku kecil dari tas kerjanya. Buku bergambar kota Paris dan berwarna coklat muda itu selalu menemani Ara. Beberapa halamannya terlihat kumal karena sudah tercetak tinta hitam di atasnya. Kali ini, tangan lincah Ara sedang membuat sebuah cerita dari seorang nenek yang membeli sembako tadi. Meski berupa fiksi, inspirasi dari keseharian hidup, membuat Ara lebih memaknai setiap kejadian.

"Memangnya nulis apa, Ara?" Tanya Rani melihat keasyikan Ara di sudut kantin kantor.
"Ah, Rani. Ini..aku membuat cerita tentang seorang nenek yang aku layani tadi saat bazar." Jawab Ara sambil tersenyum.
"Kok buat cerita? Bukan buat kaya berita-berita gitu? Kan kalau laporan peristiwa bisa dikirim ke koran tuh, Ra?" Rani merasa Ara harusnya membuat tulisan koran saja.
"Pekerjaan kantor sudah banyak laporan. Belum lagi kalau dikirim dinas luar harus membuat cerita non-fiksi alias laporan perjalanan dinas." Ara menguraikan alasannya kepada Rani sambil terkekeh. Rani pun ikut tersenyum geli membayangkan perkataan Ara.
"Aku bosan, Ran. Bagiku menulis adalah satu-satunya jalan supaya bisa menyeimbangkan antara pekerjaan dengan hobiku. Makanya aku lebih suka menulis cerita fiksi, Ran. Bisa berimajinasi." Terangnya kemudian kepada Rani. 
"Oh begitu. Baiklah. Kapan-kapan aku baca hasil karyamu ya, Ara?" Kata Rani kemudian.
"Iya pasti, Rani. Tulisanku akan abadi meski aku tak ada lagi." Jawab Ara sambil memegangi dadanya.


Tiba-tiba, nafas Ara mulai kembang kempis. Ritmenya terlalu cepat untuk ukuran normal. Rani yang semula terdiam, menjadi panik. Rani lalu memanggil teman-temannya. 
Muka Ara mulai memucat pertanda sakit luar biasa di tubuhnya. Tangannya menjadi kaku dan kedinginan. Bunyi mengi berkali-kali keluar dari mulutnya. Lelah seharian membuat tubuh Ara drop seperti saat ini.

Di tengah-tengah  nafasnya yang tersengal, Ara menitipkan buku catatan kecilnya ke tangan Rani.
"Titip." Begitu kalimat terakhir Ara.
Setelah menarik nafas  cukup panjang, Ara pergi.
Rani pun berteriak. Tidak percaya bahwa sosok sahabat yang selama ini sering menemaninya berpulang. Rani mengenggam buku catatan kecil milik Ara. Benaknya berujar, "Abadilah engkau bersama tulisan ini, Sahabat. Akan kusampaikan pada dunia tentangmu. Pergilah dengan tenang." Doa Rani mengantar kepulangan Ara kepada Sang Pencipta Raga.



#odopbatch7
#tantangan2

Gemar Makan Ikan

Oleh : Ika Ratnani
Bau amis. Itu yang pertama kali kucium. Aroma yang betul-betul kuhindari. Kadangkala aroma itu terus tinggal di pucuk hidung, sementara sisa-sisanya terdiam di bak cucian atau teronggok di kantong sampah. Entah dari mana Ayah mendapatkan brekecek kali ini. Tebakanku pasti dari Kang Karto Tuying, teman Ayah yang nelayan itu. Teman Ayah memang baik hati dan lucu, tapi sepertinya dia tidak tahu betapa benci aku dengan bau amis.
"Nara, ayo dimakan brekeceknya ini. Enak lho!" Seru ayah memintaku bergabung makan siang dengan dengan beliau.
"Nara tidak mau, Yah. Bau amis. Pusing ini" jawabku lumayan ketus sambil berlalu ke kamar.
Ayah mengangkat bahunya lalu ke dapur menikmati brekecek patak jahan buatan ibu. Suara decak nikmat dari mulut beliau terdengar begitu menggoda. Tapi aku tetap bergeming. Aku tak kuat dengan bau amisnya.
Esok harinya, ketika aku sarapan pagi masih tersisa aroma ikan belanak semalam. Demi meredam rasa laparku, aku berusaha abaikan itu. Setelah bersiap, bersama ayah aku berangkat sekolah.
Di sekolah, entah kenapa Pak Guru ikut-ikutan membahas tentang ikan. Kata beliau, Gerakan Makan Ikan harus digalakkan.
"Potensi ikan di Indonesia itu 6, 8 juta ton per tahun. Dan sekitar 5, 12 juta ton dapat dikonsumsi. Ikan juga mengandung banyak protein dan rendah lemak. Jadi, sebagai wujud kecintaan terhadap bangsa ini, gemarilah ikan dalam aneka makananmu. Bisa dipahami?" Tanya Pak Guru yang dijawab serentak olehku dan teman-temanku.
Sepanjang perjalanan pulang, aku berusaha mengingat perkataan Pak Guru. Meskipun aku sulit untuk melakukannya.
"Ibu, aku pulang." Seruku di muka pintu memanggil ibuku.
Kulihat Kang Karto Tuying sedang bercakap dengan Ayah.
"Nah, ini anak wedok yang tidak suka ikan, Kang." Sambut Ayah saat aku mencium tangannya.
"Lah melas temen ya? Ikan itu enak dan bergizi, Nduk. Maraih pinter." Ekspresi Kang Karto Tuying membuatku ingin tertawa, tapi untuk kesopanan aku hanya tersenyum simpul.
Setelah berganti, aku mencari ibuku di dapur. Beliau tidak kelihatan. Di meja dapur kulihat ada makanan asing yang baunya sangat sedap. Aku mengambil satu dan memakannya. Tak kusangka, rasanya nikmat sekali. Ku ambil satu lagi dan lagi hingga hampir habis.
"Lho ini genduk doyan ikan juga?" Ibu menemui sambil membelai kepalaku.
"Ini dari ikan, Bu? Kok enak?" Tanyaku heran kepada ibu.
"Itu dari ikan tuna sayang...kamu doyan? Besok ibu masak lagi ya." Jawab ibu sumringah.
Aku lalu mengangguk seraya dalam hati meniatkan untuk ikut Gerakan Makan Ikan sesuai anjuran Pak Guru. Aku pun tersenyum membayangkan betapa luasnya laut Indonesia dan kini aku bisa menikmati hasil lautnya karena kepandaian ibuku mengolah makanan. Aku makin sayang dengan Ayah Ibuku.
Note :
Brekecek = bumbu pedas ala cilacap
Patak = kepala ikan
Jahan = nama ikan
Wedok = perempuan
Melas = kasian
Nduk = panggilan anak perempuan

Kamis, 19 September 2019

Relawan Muda Sejati

Puisi oleh : Ika Ratnani


Terik matahari tak menjadikan kami jeri,
Peluh bercucuran tak membuat kami mengeluh,
Kerontangnya jalanan terus membuat kami bertahan.


Menjadi Relawan adalah panggilan hati
Berbekal kesadaran dan ikhlas diri.
Dicaci..dipuji..didiskriminasi..Biarlah
Kami hanya mencari ridho illahi


Karna hidup ini adalah anugerah dari Yang Esa.
Menolong sesama..
Mengulurkan tangan bagi yg membutuhkan..
Adalah cara kami berbagi berkah..berbagi anugerah


Teruslah belajar memperlengkapi diri
Terampil menolong juga berbakti
Lalu murnikan hati ikhlaskan budi.


Tetap semangat Relawan Muda
Pandang Allah di tiap langkah..
maka semua hal akan nikmat menjalaninya.



Selamat dan Sukses HUT Ke-74 Palang Merah Indonesia (PMI)

Rabu, 18 September 2019

Pengantar Ringkas Membaca Peta

Oleh : Ika Ratnani

Peta. Setiap orang yang mendengar kata ini selalu berasumsi dengan peta buta, susah dipahami, membuat pusing, gambar-gambar membingungkan. Asumsi ini pun terjadi saat awal saya mengenal tentang peta. Namun, seiring dengan pendalaman dan pemahaman ternyata peta merupakan alat yang sekarang begitu mendominasi dalam kehidupan masyarakat modern.

Tak terhitung seberapa banyak dari kita yang pernah menggunakan aplikasi google.maps? Tentunya dengan munculnya kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh teknologi, pengetahuan akan peta semakin meningkat. Pemanfaatan peta sebagai penanda lokasi pun semakin dibutuhkan. Akan tetapi, peta itu sendiri perlu dipahami dengan benar agar penggunaannya tidak membingungkan   apalagi membuat orang sampai tersesat.
Copyright : maps.google

Nah, peta adalah gambar di muka bumi. Tentunya semua objek yang digambarkan di dalam peta selalu ada, baik di permukaan ataupun di ketinggian/kedalaman tertentu. Peta itu sendiri digambar menggunakan simbol-simbol khusus yang sangat mudah dikenali, berupa simbol titik, simbol garis, simbol area, dan simbol warna. Untuk memudahkan proses pembacaan peta, gambar sebuah wilayah diletakkan pada bidang datar sehingga seolah-olah bumi itu datar. Padahal, proses membuat bumi "menjadi datar" di dalam peta disebabkan adanya sistem proyeksi. Seperti berkaca, muka bumi digambar ulang di atas cermin. Yang semula bulat mengglobe beralih menjadi sedatar cermin. Tentunya proses proyeksi ini melalui hitung-hitungan matematis rumit.


Lalu, bagaimana cara membaca peta?
Sama seperti kita membaca sebuah tulisan, kita perlu mengenal BAHASA PETA. Bagi orang awam, bahasa peta ini sulit dikenali karena berupa simbol. Namun, begitu membedah tentang simbol, akan lebih mudah memahami peta.


JUDUL
Bahasa peta yang perlu kita kenali adalah judul peta. Dari judul-lah, isi sebuah peta bisa diketahui. Jika sebuah peta berjudul "Peta Jenis Tanah di Kabupaten Cilacap", maka jelas isinya tentang jenis tanah di Kabupaten Cilacap. 

Berbeda apabila ada peta dengan judul "Peta Cilacap", informasi yang disajikan dalam peta judul tersebut lebih luas dan tidak memuat sebuah kekhususan. Oleh karena itu, informasi tentang jalan, sungai, propinsi, batas wilayah, dan semua kenampakan alam tersaji di peta tersebut.
Cermati judulnya, maka isi peta akan segera tergambar di benak.


SKALA
Skala adalah perbandingan antara jarak di peta dengan jarak sesungguhnya. Perbandingan jarak dalam peta menunjukkan tingkat detil sebuah objek. Misalkan dalam peta tertulis 1 : 100, maka informasi yang terkandung dalam tiap 1 cm di peta sama dengan 100 cm jarak di permukaan bumi. Dalam google.maps biasanya muncul 500 feet atau 500 m dpal ( meter di atas permukaan air laut), keterangan ini dapat dijadikan dasar sebagai pengenaan skala peta.

Kalau boleh mengibaratkan, skala ini seperti pembagian roti tart yang bundar. Jika 1 roti dibagi 1 orang, maka perbandingannya besar dan isi roti pun terlihat sangat jelas. Lain halnya apabila 1 roti dibagi 1000 potong, detil-detil dalam kue pun akan mengabur dan perbandingannya semakin kecil.


ARAH
Berbicara tentang arah, sudah takdir kaum perempuan selalu bingung dengan pengenalan arah. Mungkin karena terlalu banyak baper...eaaaaa. 
Coba saat ini Anda sedang menghadap ke arah mana? Lalu pintu rumah Anda menghadap arah mana? Jika cepat mengenali, maka kemampuan spasial Anda boleh dikatakan lebih baik dari saya.
Terkadang di sebuah tempat baru, meskipun menggunakan aplikasi maps sulit mengenali arah. Ada satu hal yang dapat dilakukan, yaitu mencari objek yang mudah dikenali seperti masjid. Begitu menemukan objek masjid, tinggal cari arah kiblat, ketemulah arah Barat Daya. Kemudian, bernyanyilah..Timur tenggara selatan barat daya barat barat laut utara timur laut..sambil berputar sesuai arah...hehe.

Lagu di atas sudah kita kenal semenjak sekolah dasar. Namun sayang, banyak guru yang tidak memperkenalkan manfaat pengenalan arah bagi muridnya. So, muridnya kadang salah mengenali arah.


SIMBOL
Simbol pada peta merupakan ruh yang menceritakan keseluruhan isi peta. 
Pada aplikasi maps sering ditemui beberapa pilihan gambar seperti peta saja atau lebih lengkap seperti satelit.

Seringkali kita nyaman menggunakan tampilan satelit daripada peta. Hal ini menunjukkan indera penglihatan kita lebih peka terhadap warna, maka warna merupakan salah satu bahasa pengenal utama peta.

Jika kenampakan berwarna hijau, maka itu adalah dataran rendah. Namun apabila warna hijau disertai kenampakan yg teratur bisa dipastikan itu adalah permukiman penduduk. Berbeda apabila hijau pekat disertai dengan alur-alur bercabang, ini menunjukkan adanya wilayah yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya.

Di lautan, apabila warna biru cenderung lebih muda pasti wilayah tersebut adalah laut dangkal. Semakin pekat warna birunya akan semakin dalam lautnya.
Selanjutnya, melalui pengenalan simbol warna ini penting untuk membangun gambaran tiga dimensi dalam otak kita. Misalkan seperti apa gambaran pesisir Cilacap? Seperti apa gunung slamet?
Dengan kemudahan teknologi, lagi-lagi kita bisa memanfaatkan fitur medan dalam aplikasi maps. So, lebih mudah bukan?


SUMBER DAN PEMBUAT PETA
Validitas dan reliabilitas sebuah peta dapat dilihat dari sumber pembuatan peta dan orang/instansi pembuat peta. Banyam sekali beredar peta di internet namun tidak menyertakan kelengkapan peta ini. Instansi yang teruji tentunya seperti Bakosurtanal selalu mencantumkan lisensi pembuatan peta di pojok kanan bawah. So, hati-hati jika mencari peta. Pilihlah yang dapat dipertanggungjawabkan.


BACA PETA KENALI DUNIA
Peta menyajikan seluruh kenampakan yang ada. Apabila kita bisa membaca peta dengan baik, niscaya kemanapun tak akan pernah tersesat. Namun, jika kita tidak kemana-mana pun setidaknya kita bisa membayangkan secara tiga dimensi bentuk muka bumi sebuah wilayah melaui peta. Kalau saya, ketika sudah bisa membayangkan bisa terinspirasi untuk membuat cerita. 

Intinya, ayo belajar peta. Kenali Indonesia sampai sudut-sudutnya. Sehingga jika ada bangsa lain yang berusaha merebut tanah dan air kita, kita mengenal batas-batasnya.
Aku peta aku peta. Quote ini selalu terdengar saat melihat film Dora The Explorer. 

Yuk, eksplorasi keindahan Indonesia melalui peta dan bertambahlah cintamu bagi bangsa ini.

Salam literasi.

Senin, 16 September 2019

Karto Tuying dan Mendoan Penyelamat Bangsa

Oleh : Ika Ratnani


Karto Tuying pulang melaut. Separuh kapalnya berisi tong penuh ikan. Musim kemarau ini memang berkah buat Karto Tuying dan nelayan lain. Meski di darat cadangan air menipis, namun ikan-ikan di laut malah sibuk beranak-pinak. Pikir Karto Tuying, mungkin karena limpasan air sungai yang mengalir ke laut sedikit, sehingga aktivitas reproduksinya tidak terganggu. Entahlah, Karto Tuying mumet kalau harus mikir serius. Bisa-bisa cepat habis rambut di kepalanya.

Kampung laut siang itu terlihat lengang. Jalanan berdebu. Kriat-kriut papan bangunan rumah para nelayan lirih terdengar terpapar angin timur yang kering. Karto Tuying berjalan memikul tong penuh ikan. Langkah kakinya yang berat menimbulkan debum di tanah berawa. Sambil cengar-cengir membayangkan wajah sumringah istrinya, Karto Tuying bergegas menuju rumah tengkulak.

Copyright : kalsel.antaranews.com

"Dapat berapa kilo saya, Pak Jasun?" Tanya Karto Tuying kepada tengkulak.
"Lumayan. 40 kilo. Ini uangnya. Cair ya Pak Tuying. Aja kelalen, keluargane dipikirna ya." Pak Jasun menyerahkan beberapa lembar uang bergambar proklamator kepada Karto Tuying.
"Matur nembah nuwun Pak Jasun. Pamit." Ucap Karto Tuyung setengah menunduk.


Sesampainya di rumah, Karto Tuying mencari istrinya, Rohaeni. Di dapur, Rohaeni sedang memasak untuk suami dan anak-anaknya.
"Ini, Bu. Berkah melaut hari ini lumayan. Cukup untuk 5 bulan ke depan kan ya, Bu?" Tanya Karto Tuying pada Rohaeni.
"Syukurlah, Pak. Akhirnya bisa membayar buku pelajaran anak-anak." Rohaeni mengambil uang yang disodorkan Karto Tuying dan menyimpannya dalam sakunya.
"Masak apa, Bu? Kencot." Karto Tuying mengelus-elus perutnya sembari menengok ke arah wajan.
"Mendoan, Pak. Sabar ya." Rohaeni menjawab singkat.

Copyright : resepmasakan.com


Ruang tengah rumah Karto Tuying begitu sederhana. Selembar tikar digelar berdampingan dengan lemari berhias televisi. Siang itu, piring berisi sayur boled, mendoan, dan kerupuk tersaji. Air liur Karto Tuying langsung meleleh melihat makanan kesukaannya di depan mata.

"Bu, enak banget mendoane. Nyelekamin jan... Kata Pak RT, mendoan ada sejak jaman penjajah Bu. Penyelamat bangsa selain bambu runcing." Ujar Karto Tuying sambil sibuk mengunyah makanan.
"Lah..jere apa Pak?" Rohaeni seakan tidak percaya.
Sejarah pembuatan tempe
Copyright : kaskus.id


"Eh, betul. Waktu jaman penjajah kan makanan sedikit, kata Pak RT tawanan perang banyak yang disentri dan busung lapar. Nah, karena diberi makan tempe mereka selamat dan bisa berjuang untuk negara, Bu." Kata Karto Tuying kepada Rohaeni.
"Sakti temen, Pak. Tidak hanya bambu runcing. Tempe pun bisa membuat negara selamet ya?" Jawab Rohaeni sambil berpikir ternyata pergaulan Karto Tuying dengan Pak RT membuat Karto Tuying pintar.
"Pak RT tulih pinter. Mendoan itu bahkan sudah ada sejak jaman raja-raja. Jajal Nyong kaya raja ya Bu..maem mendoan seperti yang di Serat Centhini." Karto Tuying melanjutkan ocehannya.
"Raja? Berarti aku Ratu ya Pak? Lah jan..besok masak mendoan tiap hari lah. Biar seperti raja ratu ya Pak." Rohaeni polos menjawab Karto Tuying.
"Iya tapi jangan lupa, ikan belanak juga perlu dimasak, Bu. Supaya anak-anak kita tidak hanya jadi raja tapi pintar seperti orang Jepang, ya." Lanjut Karto Tuying sambil memandang ke lautan melalui jendela rumahnya.


Keluarga Karto Tuying terus bercengkrama sambil menyantap makan siang. Berkah melaut di musim kemarau bagi Karto Tuying disyukuri dengan menikmati hidup sebagaimana adanya.


Note :
Kelalen = lupa
Matur nembah nuwun = terima kasih
Kencot = lapar
Nyelekamin = enak sekali
Nyong = inyong = saya

Minggu, 15 September 2019

Gaun Tutup Botol Pembawa Berkah

Pelajaran siang itu kosong. Guru yang mengajar kelas Nanda sedang dinas luar kota. Tugas yang diberikan oleh guru piket, sudah tuntas Nanda kerjakan. Nanda sedang menimbang-nimbang untuk membantu Bu Netty di ruang BK. Sebentar lagi, Nanda harus mengikuti Pemilihan Duta Lingkungan Hidup tingkat kabupaten mewakili sekolahnya. Nanda awalnya bingung, agak sangsi karena ia jarang bahkan tidak pernah terpikir berjalan seperti model di atas catwalk. Namun, permintaan Bu Netty untuk mengikuti lomba menjadi tantangan tersendiri baginya.

"Bilal, aku ijin ke BK dulu ya. Mau buat kostum nih." Seru Nanda kepada ketua kelas.
"Mana buku tugasmu? Kumpulkan dulu sini." Jawab Bilal.
"Sudah selesai semua, Bro. Aman terkendali. Udah ya.." Sambil menyerahkan buku tugasnya, Nanda tersenyum kepada Bilal dan keluar kelas.

Setelah ijin ketua kelas, Nanda menuju ruang BK. Bu Netty dan beberapa kawan Nanda dari kelas lain sudah menunggu. Mereka sibuk mencuci tutup botol air minum kemasan. Nanda lalu segera membantu kawan-kawannya. Percik air di antara beribu tutup botol air minum kemasan membuat baju seragam Nanda basah. Namun, ia senang karena pengalaman baru merangkai tutup itu menjadi sebuah pakaian sangat dinantikannya.

"Ayo..buruan kita mau rangkai tutup botolnya ini." Bu Netty segera meminta pada anak didiknya membawa tutup itu ke ruang dalam. Guru rupawan asal ranah minang itu memang tekun sekali membuat hasta karya. Kepandaiannya merangkai barang-barang bekas selalu teruji. Pakaian daur ulang yang Bu Netty buat seringkali memenangkan kompetisi di kabupaten. Selalu menjadi yang terbaik.

"Sebentar, Bu. Plastik-plastik ini saya buang dulu. Supaya tidak tertimbun di sini ya, Bu?" Tanya Nanda kepada gurunya itu.
"Iya, kamu buanglah di tempat sampah depan. Jangan lupa dipilah dulu ya supaya bisa kita buat ecobrick. Bilang Pak Supri botol plastiknya disimpan di karung dulu." Sahut Bu Netty kepada Nanda.
"Siap Bu." Jawab Nanda dan teman-temannya serempak.
Mereka segera menampung botol plastik dalam karung dan menyerahkan kepada Pak Supri. Ia ingin cepat-cepat merangkai tutup botol menjadi kostum megah.

"Kita pasang besi ini melingkar ya..setelah itu kita tempel tutup botolnya satu persatu." Arahan Bu Netty kepada Nanda dan anak lainnya.
"Bu, bentuk bunganya sudah bagus belum ini, Bu?" Tanya Nanda sambil menunjukkan hasil pekerjaannya kepada Bu Netty.
"Bagus Nanda. Tutup botol sudah pas di tengah-tengah." Bu Netty menepuk punggung Nanda sambil tersenyum.
Foto : dokumen pribadi


Hampir seminggu proses pembuatan kostum Duta Lingkungan Hidup dibuat. Hari kompetisi pun tiba. Nanda tegang namun mencoba tetap tenang. Di ruang ganti, Bu Netty bersiap memakaikan kostum kepada Nanda.
"Sini masukkan tangan ke sebelah sini." Instruksi Bu Netty agar Nanda menyelesaikan ganti kostumnya.
"Sudah kan? Sini Ibu tarik resletingnya dulu." Lanjut Bu Netty.
Tiba-tiba, resleting gaun itu macet. Sulit untuk ditarik ke atas juga ke bawah. Nanda gemetar. Ikut panik.
"Bu, gimana ini?" Tanya Nanda memelas.
"Sabar, Ibu beri minyak sedikit supaya licin ya." Bu Netty menenangkan Nanda.

Akhirnya, setelah menunggu beberapa saat, gaun itu terpasang sempurna di tubuh Nanda. Riasan tipis yang dipakaikan Bu Netty membuat Nanda terpukau akan dirinya sendiri. Ia tersenyum simpul melihat wajahnya di cermin. Dalam hati, Nanda bertekad melakukan sekuat tenaganya kali ini.

"Antrian nomor sembilan segera menempatkan diri." Himbau panitia.
Nanda yang sudah siap, segera naik ke karpet merah dan berlenggak lenggok seperti model profesional. Ia belajar di laman youtube tentang gerak seorang model. Tangannya rapat terangkat sambil melambai pelan ke arah penonton. Langkah kakinya berjalan silang menyilang anggun. Tak lupa senyuman menawan ia panahkan kepada seluruh juri. Penuh keyakinan Nanda melangkah.

"Gimana rasanya Nanda?" Tanya Bu Netty.
"Ibu, makasih Nanda bisa berhasil menjadi Duta Lingkungan kali ini karena bimbingan Ibu. Makasih ya Bu." Nanda mencium takzim tangan gurunya itu. Hatinya penuh rasa syukur, usahanya tidak sia-sia. Nanda percaya setiap pelajaran selalu membawa pengetahuan yang bermanfaat pada akhirnya.

Sabtu, 14 September 2019

Karto Tuying dan Kapalnya

Kampung Laut terlihat sepi. Para nelayan yang biasanya tengah hari sudah kembali dari laut, belum nampak satu pun saat ini. Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang selalu ramai juga tampak lengang. Jalan setapak kecil dari aspal seadanya di sebelah utara TPI malah hilir mudik anak-anak kecil yang bermain. Rambut tipis kemerahan yang  menghiasi putik kepala mereka begitu kontras dengan badan legamnya. Meski terik, mereka tampak asyik bermain sunda mandah. Kotak-kotak kecil bergambar pesawat terbang yang terbentang di tanah rawa di atas Kampung Laut.

Copyright by : labiru.com

Kampung mereka memang benar-benar di atas laut. Terhantam ombak setiap hari dengan aroma khas pesisir yang terkadang melegakan, tapi seringkali bau apak. Jajaran mangrove memanjang membelit di sekeliling kampung. Melindungi keberadaan Kampung Laut dari derasnya abrasi pantai. Rumah-rumah penduduk pun dibangun dari kayu-kayu kokoh yang menancap di dasar Segara Anakan.

Dari kejauhan, Karto Tuying dan kapal-kapal nelayan lain melajukan kapal comprengnya ke arah kampung laut. Di tengah luasnya samudera, bayangan mereka berangsur-angsur makin jelas. Karto Tuying tiba pertama kali di Kampung Laut. Mendekati haluan, mesin kapal ia matikan, lalu dengan gesit tangannya menambatkan sebuah tali dan mengikatnya pada sebuah tiang. Setelah mengemas hasil tangkapannya, Karto Tuying bergegas menuju rumah ketua RTnya.

"Pak RT, saya mau laporan." Ujar Karto Tuying lugas.
Pak RT yang sedang memperbaiki jaring di depan rumah menoleh.
"Lapor apa maning, Tuying?" Jawab Pak RT.
"Begini Pak, tadi hampir saja beberapa kapal nelayan tenggelam, Pak. Untung saja, kami masih selamat Pak." Karto Tuying memulai ceritanya.

"Memangnya apa yang menyebabkan kapalmu hampir tenggelam? Bukannya nelayan itu memang resiko utamanya tenggelam? Kamu kan bisa berenang, apanya yang ditakutkan? Badanmu basah?" Pak RT terkekeh dan dengan santai ingin berkelakar dengan Karto Tuying yang dikenalnya sebagai sosok lucu dan menghibur.

Namun raut wajah Karto Tuying kali ini nampak serius. Apalagi mendengar jawaban Pak RT yang seolah-olah kurang menanggapi.
"Aja kaya kuwe lah Pak. Saya sungguh-sungguh ini." Kepala Karto Tuying makin condong ke arah Pak RT. Matanya pun makin terbeliak ingin meyakinkan.
"Iya..baiklah, ceritakan Ying..bagaimana kamu bisa hampir tenggelam?" Jawab Pak RT menjadi serius.
"Pak, tadi mesin kapal saya macet di tengah laut dekat kapal besar pengangkut batu bara sana. Ternyata beberapa kapal lain jg macet. Perasaan sudah full solarnya masih juga macet. Saya lalu buka mesinnya dan saya menemukan beberapa plastik hitam menggulung di dekat baling-baling, Pak. Kapal lain pun sama. Ada plastik yang mengganggu baling-baling kapal, Pak." Karto Tuying bercerita dengan semangat.
"Lalu plastiknya kamu bawa pulang atau bagaimana?" Ledek Pak RT kemudian.
"Pak RT ini gimana? Wong plastiknya sudah robek masa saya bawa pulang, ya saya buang lagi ke laut, Pak. Coba tidak robek, tidak perlu bilang sudah saya simpan. Hahaha...Pak RT ini aneh ya." Jawab Karto Tuying dengan jujurnya.

Pak RT lalu tersenyum dan berkata perlahan, "Karto Tuying, mesin motormu macet karena sampah plastik bahkan badanmu harus basah karena harus menyelam memperbaiki kapal, Eh malah plastik itu kamu buang lagi di laut. Kamu kira plastik itu akan minggir sendiri lalu membuat kapal lain aman berlayar? Itu bahaya. Sampah di laut kalau tidak diambil nanti bakal jadi lautan sampah. Kamu mau mancing di atas sampah?" Gertak Pak RT kepada Karyo Tuying.
"Eeh..ya jangan Pak. Masa saya mau makan sampah? Bisa-bisa saya awet nanti. Emohlah. Ya sudah Pak RT, saya mau pamit dulu." Jawab Karto Tuying.
"Lha kemana? Katanya mau cerita-cerita?" Pak RT bingung melihat Karto Tuying bangkit berdiri.
"Saya mau ambil sampah di laut, Pak. Biar mesin saya tidak macet lagi. Saya manut sama Pak RT ini. Sudah ya Pak. Nanti saya laporan lagi." Karto Tuying berjalan ke arah sandaran kapalnya.

Dalam hati, Pak RT geli dengan tingkah Karto Tuying yang polos namun bertanggung jawab.


#tantangan1
#odopbatch7
#weekend
#odop
#daretodare
#Satnit
#holiday
#challenge

Memotret Momen

Memotret pemandangan bagi sebagian orang adalah hobi. Tentunya sangat menyenangkan bisa mengabadikan tiap momen dalam hidup. Apalagi jika dipermudah dengan sebuah alat bernama kamera, pasti lebih bermakna.

Lain halnya dengan kamera berbentuk gadget, saya pikir manusia punya kamera berupa mata. Kekuatan bidikannya pun sempurna. Konektivitasnya dengan syaraf-syaraf optik membuat fungsi rekamnya bertahan lama. Melalui mata inilah, manusia bisa membangun galeri memori peristiwa dalam hidup.

Copyright by : google.com/images/

Pagi ini, sebuah peristiwa terekam tanpa sengaja. Dalam perjalanan mencari sesuap nasi, saya melihat seorang nenek dengan tiga cucunya. Cucu tertua menggendong adik terkecilnya penuh kasih sayang. Di sampingnya, adik keduanya memegang tangan sang nenek. Kakak beradik itu saling menuntun, menunggu nenek yang berjalan tertatih-tatih. Pelan namun penuh kesabaran kakak beradik itu akhirnya sampai di perempatan jalan. Saat bis ke arah utara lewat, keempatnya naik.

Pemandangan itu jarang saya temui. Seorang cucu yang sigap menolong neneknya. Banyak nilai yang saya pelajari dalam momen ini, termasuk diantaranya ilmu dasar, yaitu kasih sayang.

Yah..semoga mata kita menangkap peristiwa-peristiwa positif. Sehingga jiwa kita pun tersemai dengan baik karena energi positif capture memory tersebut.

Selamat menangkap momen indah.
Selamat menyemai hati dan jiwa.
Salam literasi.

Terpal Biru Ibu

Oleh : 
Ika Ratnani




Nay berlari-lari melintasi gerbang sekolah. Nafasnya kembang kempis seolah makin lama makin menipis. Tubuh kerempeng miliknya juga sedikit terbungkuk kelelahan. Tanpa disadari, Nay hampir berjalan melewati beberapa guru piket begitu saja. Kalau saja Bu Hayu tidak menegurnya, ia alpa mengucapkan salam.
"Ada apa terburu-buru, Nay?" tanya Bu Hayu.
Sembari tersenyum, Nay menjawab, "Eh maaf..Anu Bu, sedang terpikir sesuatu." Jawab Nay singkat sambil menggaruk kepalanya.
"Waduh seperti menteri negara saja, memikirkan sesuatu keras sekali begitu?" kata Bu Hayu melanjutkan pertanyaannya.
"Hehe..Bu Hayu, Ibu punya terpal?" Nay malah balik bertanya.
Penuh selidik Bu Hayu melempar pertanyaan kembali.
"Untuk apa Nay? Apa mau buat tenda?" Sepertinya Bu Hayu mulai memahami kebingungan Nay, anak didiknya yang kebetulan adalah asuhannya.

Bu Hayu mengenal sosok Nay ini sejak pertama kali ia mengajar di tempat barunya. Nay awalnya seorang pendiam. Sosok yang tak banyak bicara namun hobi mengamati. Kesukaannya itu mendorongnya menjadi siswa terpandai di seluruh angkatannya. Bakat mendengarkan ternyata menjadikannya lebih dewasa dalam berpikir dan bertindak. Keputusannya sekolah di pusat kota yang jauh dari rumah membuatnya makin mandiri.
"Tidak ada, Nay. Coba tanya ke pembina Pramuka. Sepertinya Bu Hayu pernah melihat." Jawab Bu Hayu kepada Nay.
"Sebetulnya itu tugas Pramuka, Bu. Oh iya Bu, boleh pinjam HP Ibu? Saya mau bilang ibu saya untuk mengantarkan saja," tanya Nay kemudian.
"Oh ya silahkan. Ini dipakai saja, Nay." Bu Hayu menyerahkan gawainya kepada Nay.

Lalu semenit kemudian Nay memencet sebuah nomor di gawai Bu Hayu. Nada sambung terdengar nyaring begitu terjadi sambungan.
"Bu, ini Nay pakai HP Bu Hayu. Ibu, di rumah ada terpal 'kan, Bu?" Tanya Nay begitu ibunya mengangkat telepon.
"Ada, Nduk. Gimana memangnya? Mau buat apa?" Sang ibu menjawab anaknya dengan sabar.
"Ibu tolong antarkan sekarang ya, Bu? Nanti jam dua Nay mau praktek mendirikan tenda pakai terpal, Bu." Lanjut Nay menjelaskan.
"Baiklah. Sebentar Ibu shalat dhuha dulu ya. Setelah itu Ibu antarkan ke sekolahmu. Baik-baiklah belajar Nak." Pesan Ibu Nay sebelum menutup telepon.
"Iya Bu. Terima kasih Ibuu." Wajah ceria Nay kembali hadir sembari menyerakannya kepada Bu Hayu.

Bu Hayu menerima gawainya lalu meminta Nay segera bergegas ke ruang kelas mengikuti kegiatan pembelajaran yang akan segera dimulai.
Memasuki jam istirahat kedua, Nay gelisah. Ibunya tidak kunjung datang. Ia khawatir kegiatan pramuka nanti akan terkena sanksi karena tidak membawa peralatan sesuai instruksi. Beberapa kali Nay mondar mandir di depan gerbang sekolahnya. Lama menanti, ibunya belum datang juga.
Bel tanda masuk berbunyi. Nay terpaksa memasuki kelasnya lagi. Hatinya makin gundah entah kenapa. Setelah menempatkan diri di tempat duduknya, Nay melihat Bu Hayu membuka pintu kelas dan menuju ke arahnya.
"Nay, bisa bicara sebentar?" Tanya Bu Hayu berbisik hingga Nay penasaran.
"Iya Bu. Ada apa ya?" Nay menjawab sopan lalu mengikuti langkah Bu Hayu ke ruang tamu sekolahnya.
"Begini, Nay setelah ini Ibu minta kamu mengemasi tas sekolahmu lalu ikut pamanmu yang sedang menunggu di gerbang sekolah ya?" Bu Hayu menyampaikan pesannya.
Nay bingung, lalu berkata, "Bu, ada apa ini Bu?" Nay merasa takut.
"Nak, sabarlah..ibumu telah berpulang. Di perjalanan tadi ibumu mengalami kecelakaan dan beliau telah menghembuskan nafasnya." Setitik air mata menggenang di pelupuk mata Bu Hayu. Beliau lalu memeluk Nay dengan erat yang kemudian menangis tersedu-sedu.
"Sabarlah, Nay." Hibur Bu Hayu terus kepada Nay.
Dengan langkah gontai, Nay menuju gerbang sekolah menuju tempat pamannya segera pulang ke rumah.
Di pelataran rumahnya, nampak terpal biru yang dibawa ibunya terpasang menutupi tempat penyucian. Di balik terpal biru, jasad ibunya tersenyum seolah mengatakan kepada Nay, "Ibu baik-baik saja Nak. Tegarlah."
Nay lalu terduduk. Kakinya gemetar. Air mata sudah tak kuat ia tahan lagi. Ia menangis sejadi-jadinya. Terpal untum tenda, sekarang ada di depan matanya menaungi jasad ibunya.

#ODOPBatch7

Membentuk Karakter Peduli, Membangun Budaya Nurani



Pendidikan yang mencerdaskan adalah pendidikan yang berasal dari hati. Sederhananya, untuk menjamin keterlaksanaan pendidikan karakter, pendidik atau guru harus memiliki hati yang peduli dan jiwa berkarakter terlebih dahulu. Karakter yang berarti tabiat, watak, sifat kejiwaan tercermin dalam sikap dan tingkah laku yang membedakannya dengan orang lain (KBBI Online, 2017), perlu dihidupi pendidik melalui keteladanan di setiap aspek pelaksanaan proses pembelajaran. Pendidik harus menerapkan karakter berdasarkan kematangan hati dan jiwanya sehingga mampu membelajarkan peserta didiknya menjadi manusia-manusia berkarakter.

Pendidikan karakter sendiri telah dicetuskan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam Permendikbud nomor 23 tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti yang dikuatkan dengan Peraturan Presiden nomor 87 tahun 2017, September lalu. Akan tetapi, minimnya pengetahuan pendidik mengenai penerapan pendidikan karakter dalam proses pembelajaran, kebingungan pemilahan serta pemilihan nilai-nilai karakter yang harus diterapkan, bahkan kurangnya sikap keteladanan pendidik membuat permasalahan degradasi karakter bangsa Indonesia belum mampu teratasi.

Lebih lanjut, munculnya bias antara penerapan di lapangan dengan konsep agung pendidikan karakter menimbulkan permasalahan kompleks di kalangan pendidik. Ketidaksiapan sekolah dalam menggali ruh pendidikan karakter merupakan bahan evaluasi tersendiri bagi pemerintah. Bahkan hal ini menyebabkan signifikansi implementasi hasil pendidikan karakter begitu rendah. Karakter peserta didik yang diharapkan memiliki jiwa religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas, pada kenyataannya masih jauh dari harapan. Deviasi sosial di kalangan remaja pun makin marak terjadi, seperti tawuran, bullying, pergaulan bebas, penyalahgunaan NAPZA, pudarnya sikap hormat terhadap orang tua, bahkan hilangnya kepekaan sosial terhadap sesama.

Salah satu solusi yang dapat dilakukan di tengah keruwetan moral anak bangsa adalah dengan membentuk karakter peduli, membangun budaya nurani. Karakter peduli merupakan watak atau tabiat yang menjunjung kepekaan sosial dalam segala aspek. Peduli berarti memperhatikan kondisi orang lain. Karakter peduli pun bersumber dari hati nurani yang memiliki kemampuan membedakan benar dan salah secara utuh. Kepedulian erat kaitannya dengan kepekaan seorang manusia dalam menyikapi permasalahan dan penderitaan lingkungan sekitarnya. Lebih jauh lagi, dalam karakter peduli terkandung tindakan aktif untuk memperbaiki penderitaan tersebut.

Membangun Budaya Nurani

Pembentukan karakter peduli dapat dilakukan dengan membangun budaya nurani. Artinya karakter peduli dibangun melalui penanaman nilai-nilai yang bersandar pada hati nurani manusia sebagai pondasi dasarnya. Proses penanaman dan pembentukan nilai-nilai kepedulian ini dapat dilakukan melalui beberapa tahap.

Langkah pertama adalah Nilai. 
Sekolah dan keluarga sebagai lembaga pendidikan utama pembentuk kepribadian perlu menanamkan nilai-nilai kepedulian. Keluarga adalah pilar kekuatan bangsa yang harus membangun kepedulian antarsesama anggota keluarga bahkan di lingkungan masyarakat sekitarnya. Sebagai contoh, dalam tindakan sehari-hari orangtua perlu memperhatikan anak dengan cara menanyakan aktivitas kesehariannya, memberikan pelukan, kehangatan kasih sayang untuk menguatkan nurani anak. Orangtua juga perlu mengembangkan kebiasan saling membantu sebagai wujud kepedulian di dalam keluarga. Sesekali orangtua perlu bertanya, “Sudah berapa kalikah engkau membantu orang lain hari ini, Nak?” Hal ini berarti orang tua mendorong anak mengasah kepekaan nuraninya dan berupaya membantu mengatasi permasalahan orang lain. Proses mengasah nurani setiap saat inilah yang pada gilirannya akan menjadikan anak memiliki kesadaran bertindak lebih baik dan bermanfaat untuk orang lain.

Munculnya kesadaran bertindak baik dan bermanfaat bagi orang lain harus diresponi sekolah dengan baik pula. Rumusan-rumusan nilai-nilai karakter di lingkungan sekolah dibangun berdasarkan urgensi kepedulian tiap-tiap peserta didik terhadap peraturan yang berlaku. Strategi penanaman nilai kepedulian secara bertahap sesuai jenjang pun dapat dilakukan melalui pengenalan nilai-nilai karakter peduli diri sendiri, peduli prestasi, peduli teman, peduli guru, peduli lingkungan, bahkan peduli bangsa dan peduli dunia. Budaya nurani, mendasarkan segala tindakan berdasarkan nilai baik dan buruk pun dibangun melalui prioritas kepedulian tersebut. Beberapa peserta didik perlu dibangun peduli prestasinya, namun beberapa perlu dibangun kepedulian terhadap lingkungannya, atau bahkan kombinasi dari beberapa karakter peduli tersebut. Kesungguhan sekolah menanamkan nilai-nilai kepedulian inilah yang akan menyukseskan terwujudnya pendidikan karakter.

Langkah yang kedua adalah Ulang. 
Artinya, nilai-nilai karakter peduli diri sendiri, peduli prestasi, peduli teman, peduli guru, peduli lingkungan, peduli bangsa dan peduli dunia harus terus menerus diulang-ulang dalam setiap kesempatan. Proses pengulangan nilai-nilai kepedulian tersebut juga dapat dilaksanakan melalui kegiatan nyata seperti : bakti sosial, membantu teman yang sakit, membantu sekolah menjaga kebersihan lingkungan, bahkan peduli dengan peraturan rambu-rambu lalu lintas. Repetisi nilai-nilai kepedulian ini diharapkan dapat membangun akar kuat dalam jiwa peserta didik agar memiliki kepedulian dan kepekaan sosial yang nyata.

Langkah ketiga adalah Respek. 
Respek berarti hormat. Penting sekali mendasarkan karakter peduli melalui penghormatan terhadap Tuhan, orangtua, guru, dan alam sekitar. Respek mengandung arti bahwa membangun budaya nurani berarti membangun rasa hormat, kepatuhan, kesopanan yang sungguh-sungguh dari hati dalam setiap tindakan. Respek kepada Tuhan diwujudkan dalam kesungguhan beribadah dan mengaplikasikan nilai-nilai kedamaian. Respek terhadap orang tua dapat dilaksanakan melalui perbuatan-perbuatan yang sejalan dengan anjuran-anjuran orang tua. Respek terhadap guru dibangun melalui proses interaksi saling menghargai antara peserta didik dengan guru. Terakhir, respek terhadap alam sekitar diwujudkan melalui kesadaran menjaga kebersihan di lingkungannya. Terbangunnya sikap menghormati, kepatuhan dan kesopanan berdasarkan hati nurani akan membentuk manusia-manusia tangguh yang bermoral.

Langkah keempat adalah Afeksi. 
Afeksi mengandung makna kasih sayang. Pembentukan karakter peduli akan semakin kuat terbangun apabila dibarengi nilai afeksi didalamnya. Kehangatan kasih sayang antara orang tua – anak, guru – peserta didik, manusia – alam, manusia – Tuhan, akan memperkuat jati diri manusia sebagai insan yang peduli. Perlunya dibangun kondisi yang penuh kasih sayang mendorong rasa percaya diri seseorang dengan baik melalui penerimaan tulus terhadap segala kebaikan dan kekhilafannya. Pada gilirannya, kondisi afektif ini mampu membentuk pribadi yang hangat dan bermakna.

Langkah kelima adalah Netralitas. 
Tidak hanya afektivitas yang perlu dibangun, akan tetapi sikap netral dalam menyikapi perbedaan juga harus dikembangkan. Selagi seseorang memiliki kehangatan kasih sayang, ia perlu menjaga nuraninya dengan netralitas. Artinya, perlu menjaga kenetralan pada saat berbenturan dengan berbagai macam permasalahan kehidupan. Sikap netral yang dilandasi afektivitas mendorong munculnya jiwa dan karakter yang mantap.

Langkah terakhir adalah Insan Peduli. 
Keberhasilan pembangunan karakter peduli melalui budaya nurani adalah terbentuknya insan peduli. Insan peduli ini merupakan manusia-manusia tangguh namun memiliki kesadaran dan kepekaan yang luarbiasa terhadap Tuhan, keluarga, masyarakat, juga lingkungan alamnya. Terbentuknya insan-insan yang peduli secara tidak langsung akan memunculkan karakter-karakter lain, seperti nasionalisme, gotong royong, integritas, dan karakter lainnya.

NURANI, Nilai, Ulang, Respek, Afektif, Netralitas, dan Insan peduli, adalah sebagian kecil upaya untuk memperbaiki kondisi bangsa yang memprihatinkan. Nilai karakter peduli begitu penting untuk dibentuk melalui budaya nurani ini. Tujuan utamanya adalah membentuk insan yang sadar, peka, cerdas bersikap berdasarkan nuraninya. Selanjutnya, blue print pendidikan karakter bangsa pun harus dikaji ulang dengan cermat berdasarkan nilai karakter kepedulian ini. Tanpa nurani, tidak dapat terwujud kepedulian. Tanpa karakter peduli, tidak akan ada kesadaran dan kepekaan akan permasalahan bangsa. Pada gilirannya tanpa adanya kesadaran dan kepekaan, moral anak bangsa akan tetap terdegradasi. Oleh karena itu, mari bentuk karakter peduli, bangun bu
Budaya