Senin, 07 Oktober 2019

Batik Maos-Cilacap, Sandi Perang Masa Mataram Islam

(tulisan telat posting - Hari Batik Nasional 2 Oktober 2019)

Oleh :
Ika Ratnani



Batik merupakan warisan cagar budaya non-benda yang telah diakui oleh UNESCO sejak 2 Oktober 2019. Batik yang berasal dari kata “amba” dan “titik-titik” diakui oleh organisasi dunia sebagai warisan luhur berupa kerajinan tangan milik bangsa Indonesia. Seluruh kain bermotif yang diberi titik-titik atau cecek menggunakan tetes lilin dari canthing dinamakan batik. Kesederhanaan batik ini telah menjadi ciri khas budaya bangsa Indonesia.

Sejarah Batik

Sejak masa akhir jaman pra-aksara, manusia purba di Indonesia telah mengenal sepuluh keahlian khusus alias 10 Local Genious. Menurut J.L. Brandes, sepuluh keahlian ini adalah 1) kepandaian bercocok tanam (bersawah), 2) berlayar, 3) seni pertunjukan wayang, 4) pembuatan alat kesenian gamelan, 5) membatik dan membuat ornamen, 6) pembuatan logam, 7) pengukuran (depa, kilan, dll), 8) menggunakan uang logam (kepeng, dll), 9) mengenal ilmu perbintangan (mengenal astronomi sederhana seperti lintang kemukus, dll), dan 10) mampu membentuk struktur kemasyarakatan sederhana seperti kepala suku.
Pada masa kerajaan Majapahit, penggunaan batik meluas. Namun motif-motif tertentu hanya dipakai oleh kalangan bangsawan dan keluarga kerajaan saja. Hal tersebut berlangsung lama hingga masa kerajaan-kerajaan Islam, bahkan hari ini.

Batik Maos sebagai Sandi Perang

Di Cilacap, khususnya kecamatan Maos, batik telah dikenal sejak masa Islam pada saat kerajaan Mataram Islam berkuasa. Batik pernah digunakan sebagai sandi perang untuk berkomunikasi antarmata-mata atau telik sandi agar lawan sulit menebak. 

Menurut Tonik Sudarmaji (2011), motif khas batik Maos adalah motif Sogan/coklat dengan gambar binatang atau tumbuhan. Wilayah agraris Maos dekat Sungai Serayu mendorong tumbuhnya motif-motif serupa dengan makna simbolik tertentu dan dipakai dalam perang.

Beberapa contoh motif yang digunakan sebagai sandi perang adalah :

      1. Motif Parang Angkik
Motif ini bermakna meskipun tercerai berai tetap satu arah dalam perjuangan. Pasukan kerajaan menggunakan motif ini ketika mulai melemah. Sehingga batik sebagai sandi perang dimaksudkan untuk menggugah semangat pasukan.


Motif Parang Angkik (google.com)

2.     Motif Rujak Sente
Motif ini dibuat dengan maksud agar para pemimpin bertindak seperti rujak  dan sente atau daun talas. Artinya pemimpin meskipun pedas dan membuat gatal harus bisa tegas dalam bertindak agar arah tujuan perjuangan tetap tercapai. Oleh karena itu, seorang pemimpin yang menggunakan motif ini sebagai sandi perang, instruksinya harus dijalankan dengan benar.


Motif Rujak Senthe (google.com)

      3. Motif Cebong Kumpul
Motif ini dimaksudkan sebagai pertanda agar sekelompok tentara siap berperang seperti cebong atau anak katak. Kesiapsiagaan kelompok akan meningkat apabila motif batik ini beredar sebagai sandi perang.

Moti Cebong Kumpul (google.com)
 
Jelaslah bahwa penggunaan batik sebagai warisan agung nusantara selain berfungsi sebagai pakaian, di Maos, Cilacap bahkan pernah digunakan sebagai sandi perang. Semoga wawasan tentang cagar budaya meningkat, sehingga bangsa Indonesia mampu melestarikan karya adiluhung bangsa dalam setiap kesempatan.


Daftar pustaka :
Undang-Undang No. 5 Tahun 2017 Tentang Cagar Budaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar