(tulisan telat posting - Hari Batik Nasional 2 Oktober 2019)
Oleh :
Ika Ratnani
Batik merupakan warisan cagar
budaya non-benda yang telah diakui oleh UNESCO sejak 2 Oktober 2019. Batik yang
berasal dari kata “amba” dan “titik-titik” diakui oleh organisasi dunia sebagai
warisan luhur berupa kerajinan tangan milik bangsa Indonesia. Seluruh kain
bermotif yang diberi titik-titik atau cecek
menggunakan tetes lilin dari canthing dinamakan
batik. Kesederhanaan batik ini telah menjadi ciri khas budaya bangsa Indonesia.
Sejarah Batik
Sejak masa akhir jaman
pra-aksara, manusia purba di Indonesia telah mengenal sepuluh keahlian khusus alias
10 Local Genious. Menurut J.L. Brandes, sepuluh keahlian ini adalah 1) kepandaian
bercocok tanam (bersawah), 2) berlayar, 3) seni pertunjukan wayang, 4) pembuatan
alat kesenian gamelan, 5) membatik dan membuat ornamen, 6) pembuatan logam, 7) pengukuran
(depa, kilan, dll), 8) menggunakan uang logam (kepeng, dll), 9) mengenal ilmu
perbintangan (mengenal astronomi sederhana seperti lintang kemukus, dll), dan 10)
mampu membentuk struktur kemasyarakatan sederhana seperti kepala suku.
Pada masa kerajaan Majapahit,
penggunaan batik meluas. Namun motif-motif tertentu hanya dipakai oleh kalangan
bangsawan dan keluarga kerajaan saja. Hal tersebut berlangsung lama hingga masa
kerajaan-kerajaan Islam, bahkan hari ini.
Batik Maos sebagai Sandi Perang
Di Cilacap, khususnya kecamatan
Maos, batik telah dikenal sejak masa Islam pada saat kerajaan Mataram Islam
berkuasa. Batik pernah digunakan sebagai sandi perang untuk berkomunikasi
antarmata-mata atau telik sandi agar
lawan sulit menebak.
Menurut Tonik Sudarmaji (2011),
motif khas batik Maos adalah motif Sogan/coklat dengan gambar binatang atau
tumbuhan. Wilayah agraris Maos dekat Sungai Serayu mendorong tumbuhnya
motif-motif serupa dengan makna simbolik tertentu dan dipakai dalam perang.
Beberapa contoh motif yang
digunakan sebagai sandi perang adalah :
1. Motif
Parang Angkik
Motif ini
bermakna meskipun tercerai berai tetap satu arah dalam perjuangan. Pasukan kerajaan
menggunakan motif ini ketika mulai melemah. Sehingga batik sebagai sandi perang
dimaksudkan untuk menggugah semangat pasukan.
Motif Parang
Angkik (google.com)
2. Motif
Rujak Sente
Motif ini dibuat
dengan maksud agar para pemimpin bertindak seperti rujak dan sente atau daun talas. Artinya pemimpin
meskipun pedas dan membuat gatal harus bisa tegas dalam bertindak agar arah
tujuan perjuangan tetap tercapai. Oleh karena itu, seorang pemimpin yang
menggunakan motif ini sebagai sandi perang, instruksinya harus dijalankan
dengan benar.
Motif Rujak
Senthe (google.com)
3. Motif
Cebong Kumpul
Motif ini
dimaksudkan sebagai pertanda agar sekelompok tentara siap berperang seperti cebong atau anak katak. Kesiapsiagaan kelompok
akan meningkat apabila motif batik ini beredar sebagai sandi perang.
Moti Cebong Kumpul (google.com)
Jelaslah bahwa penggunaan batik
sebagai warisan agung nusantara selain berfungsi sebagai pakaian, di Maos,
Cilacap bahkan pernah digunakan sebagai sandi perang. Semoga wawasan tentang
cagar budaya meningkat, sehingga bangsa Indonesia mampu melestarikan karya
adiluhung bangsa dalam setiap kesempatan.
Daftar pustaka :
Undang-Undang No. 5 Tahun 2017
Tentang Cagar Budaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar