Rabu, 06 November 2019

Korsa


JIWA KORSA BERSEMI

Ransel dua puluh kilo tersemat dipunggung rapuhku. Hampir separuh berat badan kubawa dalam pendakian ke puncak Lawu kali ini. Peluh menetes terus hingga membasahi baju dalam. Punggungku ngilu dan terbungkuk, diserang kram, perih juga pegal. Beberapa kali kuputuskan untuk berhenti. Kusenderkan tas ransel itu ke sisi bukit yang tegak. Nafasku terdengar seperti peluit...ngiiik...ngiik. 

Wah jauh sekali perjalanan ini. Rasanya tidak sampai-sampai.” Batinku.

Sepuluh kilometer lebih aku dan anggota tim berjalan menaik menuju jantung hutan Argoyoso. Peluh-peluh bercucuran diterpa dingin membuat tubuh kami yang panas menggigil.

“Ayo, jalan yang semangat. Relawan harus gesit. Jangan lamban.” Suara keras seorang senior di belakang kami bak pemandu sorak yang meramaikan perjalanan.

Long March adalah jalan jauh.
Yang harus kita tempuh,
Dengan semangat satria.
Kaki lecet, sepatu diseret.
Semangat tetap membara.

Lagu-lagu baru diajarkan kepada kami. Mirip militer, akan tetapi kenyataannya memang membuat kami tergugah. Suara nyaring saat bernyanyi menemani perjalanan panjang menembus hutan. Jalanan menaik bahkan kami abaikan. 

Ketika malam tiba, suasana makin hening. Memasuki jalan setapak, kami diminta lebih menjaga perkataan. Suara yang lantang melirih. Berganti sorot-sorot senter yang menerangi langkah kami. Tiba-tiba, langkahku terseok dan limbung. Tanpa sengaja mengganggu rekan di depanku. Tangan kurusnya otomatis terulur menahan jatuhku. Bersama kawan lain, mereka memapahku untuk duduk. 

“Kamu tak apa?” tanyanya irit bicara. Ia lalu meminta ijin kakak senior untuk berhenti sejenak. Dengan gesit, beberapa teman menyiapkan kompor lapang dan membuatkanku air hangat. 

“Makanlah. Supaya tenagamu pulih.” Kata teman yang kurus tadi. Selang beberapa saat, mie instan disodorkan ke arahku. Kulihat mereka hanya mengambil bagian sangat sedikit jatah makan mereka dan memberikan bagian besar untukku.

“Terima kasih. Maaf merepotkan.” Sahutku.

“Kalau kamu menganggap bantuan kami merepotkan, maka temanmu pun akan menganggapmu kerepotan saat kami butuh bantuan. Oleh karena itu, tak perlu sungkan. Kita saudara.” Jelasnya singkat namun mengguncang pemahamanku.

Jujur aku takjub. Pemikiran sederhana ini mampu mengubah perasaan dan pemahamanku mengenai arti persaudaraan. Malam itu juga, ikatan batin nan tulus tercipta diantara kami.

Puncak acara berlangsung khidmat. Setelah proses pendadaran yang cukup berat, irama langkah kami serasa lebih kompak. Pelantikan anggota baru relawan muda sukses digelar. Semangat korsa berapi-api menghidupi awal perjuangan kami. Bersama para sahabat, kami jelang pengabdian tanpa batas.

Selasa, 05 November 2019

REuni


REUNI

Menua. Setiap orang pasti mengalaminya. Entah cepat entah lambat. Warna rambut yang memudar, langkah melambat, tubuh membengkak, bahkan larik-larik keriput.  Namun, dalam kenangan seorang dewasa yang menua selalu ada hal menyenangkan. Entah itu tentang jatuh cinta. Entah pengalaman perjalanan masa kecil penuh petualangan. Atau bahkan sekelumit canda tawa bersama sahabat di kala muda. Raga-raga yang renta selalu menjaga kenangan agar tak memudar.

Hampir tiga ratus enam puluh purnama telah lewat. Pertemuan kembali terasa berkat. Kawan-kawan sekolah dasar yang dulu pendiam terlihat cerewet membetulkan posisi baju anaknya. Teman yang dahulu aktif masih nampak bersemangat membawakan acara. Sedang aku masih setia menjadi pengamat saja. Menikmati perubahan signifikan di wajah kawan lama. Sesekali senyum dan anggukan kuberikan ketika sapa kabar menghampiri.

Beberapa kawan lain terlihat lebih perlente. Gaya bicaranya pun berubah. Lebih percaya diri dan lebih meyakinkan. Maklum, bisnis sampingannya berhasil. Sah-sah saja ia sedikit berlagak, bukan? Di sudut cafe nan sejuk, kembali kuperhatikan wajah seorang kawan yang sepertinya tidak mengalami perubahan. Kupikir dia memakan buah awet muda, lihat saja mukanya yang tanpa kerutan meski tak berias. Belum lagi sepatu kets yang trendy dan gaul dipakainya. Ah, sudahkah jiwaku menua?

Tanpa sadar saat mata ini memindai satu demi satu kawan lama, kutemukan satu sosok yang pernah mengisi hatiku. Sepertinya ia tidak menyadari ketika sudut mata ini mencuri pandang padanya. Senyum bulan sabitnya masih juga menawan, namun sayang hati ini sudah tidak bergetar seperti dulu. Hanya saja kekagumanku masih tersisa di relung hati. Betapa bodoh aku di masa lalu. Mengingat cinta rasa monyet yang menemani masa mudaku.

Reuni. Mempersatukan kembali. Proses indah ini terjadi karena ada kasih di dalam hati. Bukan hanya sekedar kepo tentang si ini dan si itu. Tidak mudah mengumpulkan orang dalam satu waktu yang sama, apalagi dengan persepsi yang sama. Kegiatan reuni kali ini ternyata banyak menggugah kenangan, menyenangkan. Mengurai lagi bermacam cerita tentang masa kini dan harapan masa depan. Setidaknya, sekedar mengamati dan berbagi tawa saat reuni membuat semangatku bangkit kembali

Petasan

PETASAN

Bu Uwi hampir marah besar. Kalau saja ia tidak berpuasa, omelan mungkin sudah keluar dari bibirnya. Ia hanya terdiam sejenak. Menarik nafas sembari tenangkan diri. Ditahannya agar tidak terpancing emosi. Gemeletuk gigi menandakan kuat keinginannya menahan campur aduk rasa. Penuh perasaan direngkuh dan dielus kepala putra bungsunya. Sambil rapal doa agar selamat dunia akhirat.

“Sabar ... sabar. Jangan sampai keluar perkataan kurang baik kepada anakku,” ucap Bu Uwi dalam hati.

“Sakit, Nak?” Tanya Bu Uwi kepada Ino, buah hatinya.

Si anak hanya memandang Bu Uwi tanpa sepatah katapun. Matanya berkaca-kaca. Bibir bawahnya digigit sampai gemetar. Hati Bu Uwi bergetar dan trenyuh melihat tangan anak Ino membengkak. 

Luka bakar tingkat dua. Awalnya cairan bening memenuhi kulit ari tangan mungil itu. Sekepal tangan orang dewasa lebarnya. Namun, si kecil mengibas-ibaskan tangannya terus menerus. Juga ditekannya luka itu sehingga jaringan kulit terluar mengalami ruda paksa. Robek. Lalu keluarlah seluruh cairan menyisakan lembaran tipis kulit menghitam kemerahan. Lengket. 

“Aduh Ino ... jangan ditekan sayang. Nanti jadi lebih perih.” Hampir saja berteriak Bu Uwi. Namun, suaranya tertahan melihat butir bening mengalir setetes di wajah si kecil. Si bungsu berjuang menegarkan diri menahan perih.

“Sini, Ibu peluk Ino sayang. Tidak apa-apa. Ibu balut dulu ya, setelah itu kita ke dokter.” Suara Bu Uwi melembut. Dibelainya bungsu demi menenangkan buah hatinya.

“Ino, sebentar ya. Ibu mau buang mainan kamu. Petasan itu berbahaya, Nak. Boleh kan Ibu membuangnya?” tanya Bu Uwi kepada Ino lagi. Ino hanya mengangguk pelan.

Bu Uwi mengambil kantong plastik, kemudian mengambil petasan-petasan merah pipih itu untuk dibuang jauh-jauh. Harga mainan itu memang tak seberapa, tapi kali ini Bu Uwi menyadari rasa ingin tahu membawa si bungsu membeli barang tanpa pengawasannya. Sungguh disayangkan. Bu Uwi menarik nafas panjang untuk meredakan penyesalannya.

Setelah merapikan halaman depan dan membuang sisa-sisa petasan, segera dibopong putra bungsunya ke klinik terdekat. Pertolongan pertama air mengalir selama dua puluh menit sudah ia lakukan. Bu Uwi pun sudah membalut tangan Ino yang terluka. Ia berharap tangan kecil itu kembali seperti sediakala. Tak membekas ataupun luka lainnya. Melihat anaknya terluka hatinya kecut. Apalagi si kecil terus menunduk seolah mengerti kemarahan ibunda. Ia melangkah cepat-cepat. Dalam gendongnya, doa-doa terbaik dinaikkan lagi bagi putra bungsunya. Tanda kasih sayang lebih besar dari amarah.

Senin, 04 November 2019

Kesan Di Mataku


KESAN DI MATAKU
Sepenggal kenangan bersama Komunitas ODOP Batch 7

Sejak 9 September 2019 lalu, aku telah bergabung dengan sebuah komunitas menulis yang sangat luar biasa. Hampir selama dua bulan, bersama ratusan peserta lain, aku belajar mengasah diri agar makin serius menulis. Tentunya komunitas ini mewadahi semangat menulis kami untuk bertumbuh bersama dan saling membangun. Belum lagi para pemateri yang level dewa dengan kakak penanggungjawab yang luarbiasa sabar membimbing mengingatkan kami. Inilah sisi lebih dari komunitas ODOP yang membuatku termehek-mehek.

Di awal perjalanan, semangat menggebu membuat ide penulisan mengalir lancar. Beberapa cerita pendek hasil perenungan pun lahir bersama ODOP Batch 7 ini. Namun, tantangan mulai hadir begitu pekerjaan dan keinginan menulis bersinggungan. Belum lagi aplikasi dapodik (data pokok pendidikan) yang selalu meronta-ronta bila tidak diberi perhatian. Crowded otak ini. Akhirnya, di minggu kelima hingga minggu kedelapan, ide mulai mangkrak dan tertinggal di memo ponsel. Untung saja, begitu hari Sabtu, semua mengalir begitu deras. Tantangan demi tantangan terlewati. Jujur saja, babak belur rasanya. Namun, bahagia lebih sering hadir setelah menelurkan berbagai macam tulisan.

Di pekan kedelapan ini, perjuangan dalam ODOP Batch 7 telah berakhir dan ditutup dengan tantangan menulis cerita bersambung dan biografi. Bayangkan, akhir tahun dengan sejuta deadlinenya, ditambah membuat cerita yang berseri sebanyak lima kali. Blank. Untung saja di hari kedua minggu kedepalan, ide akhirnya muncul walaupun belum tereksekusi. Outline yang terbentuk terasa manis, sesuai ekspektasi. Namun, begitu menyusun cerita, tata bahasa yang kugunakan sangatlah baku. Rasanya sulit sekali menulis dengan gaya bahasa gaul seperti penulis lain. Mungkin ini efek dari seringnya menulis kajian non-fiksi.

Komunitas ini juga memperkenalkanku dengan penulis-penulis hebat seperti Mba Dian “Dee” Irum, Mba Jamilah, Mba Rahma, Mas Dwi, Mas Qaidi, Dik Fela, Mba Eka, Mba Dara, Mba Sri Gati, Mba Detin, dan satu lagi Dik Yuli. Khusus yang terakhir ini pernah mengajariku bahasa Sunda yang luar biasa. Sungguh menyenangkan. Kebersamaan hampir dua bulan membuatku takjub dengan karya-karya mereka. Ide-ide sederhana yang diangkat mereka sajikan penuh ketulusan hingga mewujud sebuah tulisan yang menyentuh. Bahkan kadang malu karena masih banyak ilmu yang harus digali sebelum mampu menulis seperti para suhu. Hehe.

Meskipun berakhir, aku meyakini ini adalah langkah awal belajar menulis lebih serius lagi. Setitik air mata bahkan jatuh saat mengenang dua bulan ke belakang. Kakak peje yang baik hati, teman peserta lain yang luar biasa, dan satu lagi, Mba Ceskha yang memperkenalkanku dengan ODOP  (Grup Kairo) menyisakan hangat rindu di dalam kalbu. Teruntuk kak Fathin, kak Cinantya, kak Aulia, Putri, dan kak Sakifah terima kasih untuk semua bimbingannya. Hanya Tuhan yang dapat membalas kebaikan kakak sekalian. Harapan untuk terus belajar bersama, saling menyemangati dan bertumbuh masih hadir di detik-detik ini. Teriring doa dan salam hormat untuk semua Valetters, jangan lupakan si Cubluk dari Nusakambangan ini yaa. Salam hangat untuk semuanya.

Salam Literasi.
Viva Komunitas ODOP