JIWA KORSA BERSEMI
Ransel dua puluh kilo tersemat dipunggung rapuhku.
Hampir separuh berat badan kubawa dalam pendakian ke puncak Lawu kali ini.
Peluh menetes terus hingga membasahi baju dalam. Punggungku ngilu dan
terbungkuk, diserang kram, perih juga pegal. Beberapa kali kuputuskan untuk
berhenti. Kusenderkan tas ransel itu ke sisi bukit yang tegak. Nafasku
terdengar seperti peluit...ngiiik...ngiik.
“Wah jauh sekali perjalanan ini. Rasanya tidak sampai-sampai.”
Batinku.
Sepuluh kilometer lebih aku dan anggota tim
berjalan menaik menuju jantung hutan Argoyoso. Peluh-peluh bercucuran
diterpa dingin membuat tubuh kami yang panas menggigil.
“Ayo, jalan yang semangat.
Relawan harus gesit. Jangan lamban.” Suara keras seorang senior di
belakang kami bak pemandu sorak yang meramaikan perjalanan.
Long March adalah jalan jauh.
Yang harus kita tempuh,
Dengan semangat satria.
Kaki lecet, sepatu diseret.
Semangat tetap membara.
Lagu-lagu baru diajarkan
kepada kami. Mirip militer, akan tetapi kenyataannya memang membuat kami
tergugah. Suara nyaring saat bernyanyi menemani perjalanan panjang menembus
hutan. Jalanan menaik bahkan kami abaikan.
Ketika malam tiba, suasana makin hening. Memasuki jalan setapak, kami diminta lebih menjaga perkataan. Suara yang lantang
melirih. Berganti sorot-sorot senter yang menerangi
langkah kami. Tiba-tiba, langkahku terseok dan limbung. Tanpa sengaja mengganggu rekan di depanku. Tangan kurusnya
otomatis terulur menahan jatuhku. Bersama kawan lain, mereka memapahku untuk
duduk.
“Kamu tak apa?” tanyanya
irit bicara. Ia lalu meminta ijin kakak senior
untuk berhenti sejenak. Dengan gesit, beberapa teman menyiapkan
kompor lapang dan membuatkanku air hangat.
“Makanlah. Supaya tenagamu
pulih.” Kata teman yang kurus tadi. Selang beberapa saat, mie instan
disodorkan ke arahku. Kulihat mereka hanya mengambil bagian sangat sedikit
jatah makan mereka dan memberikan bagian besar untukku.
“Terima kasih. Maaf merepotkan.”
Sahutku.
“Kalau kamu menganggap
bantuan kami merepotkan, maka temanmu pun akan menganggapmu kerepotan saat kami
butuh bantuan. Oleh karena itu, tak perlu sungkan. Kita saudara.” Jelasnya
singkat namun mengguncang pemahamanku.
Jujur aku takjub. Pemikiran sederhana ini mampu mengubah perasaan dan pemahamanku mengenai
arti persaudaraan. Malam itu juga, ikatan batin nan tulus tercipta diantara
kami.
Puncak acara berlangsung khidmat. Setelah
proses pendadaran yang cukup berat, irama langkah kami serasa lebih kompak.
Pelantikan anggota baru relawan muda sukses digelar. Semangat korsa berapi-api
menghidupi awal perjuangan kami. Bersama para sahabat, kami jelang pengabdian
tanpa batas.