Senin, 28 Oktober 2019

Pengabdian

PENGABDIAN

ODOP CHALLENGE 7


“Bu Lastri, tolong ke kelas sebelah. Saya sudah tidak tahan. Mereka pikir saya tidak kangen dengan istri saya apa?!” teriak Pak Jarot setengah tertahan. Wajahnya memerah. Dengus nafasnya memburu. Jarinya mengepal gemas berbarengan dengan rahang Pak Jarot yang mengeras. Bahu kerempeng Pak Jarot terus naik turun.

“Ada apa Pak Jarot? Sabar. Tarik nafas dulu. Tinggal satu jam pelajaran, lho Pak?” meskipun penuh tanda tanya Bu Lastri mencoba menenangkan kemarahan Pak Jarot.

“Sangirun dan Suti berciuman di kelas, Bu. Saya sedang menulis tugas di papan tulis. Cuma sebentar, eh, mereka berbuat senonoh di depan muka saya dan teman-temannya. Saya emosi, Bu.” Terang Pak Jarot kepada Bu Lastri.

“Bu Lastri tahu ‘kan, Saya sudah tiga hari tidak ketemu istri saya. Saya sudah tidak kuat. Saya akan menyeberang sekarang, Bu. Tolong beri tugas saja mereka. Saya pamit, Bu.” Pak Jarot menenteng tas ransel cokelatnya di bahu kanan. Tanpa menoleh lagi Pak Jarot melangkah ke dermaga di ujung desa Kampung Laut. Bu Lastri pun memandangi punggung Pak Jarot yang tergesa pulang. Sekolah kini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Bu Lastri, meski hanya dua kelas saja.

Sejenak, ingatan Bu Lastri berputar pada tiga setengah tahun lalu ketika pertama kali tiba di Kampung Laut untuk melaksanakan tugas pengabdiannya sebagai pendidik. Kapal bermuatan dua puluh orang termasuk Bu Lastri berlabuh di sudut dermaga kecil. Papan-papan pijakan yang ditata seadanya malah disetubuhi lumut-lumut kerak. Di bawahnya tiang-tiang penyangga kusam kecokelatan bergradasi hingga keabuan. Keruh air laut bercampur kayu-kayu kecil. Berserakan terbawa arus.

Sekolah itu hanya hanya berjarak 100 meter dari ujung dermaga. Jalan masuknya berupa setapak lurus yang membentang diantara rimbun mangrove dan lautan. Bangunan sekolah menengah atas tempat pengabdian Bu Lastri tepat berada di samping kanan kiri rumah penduduk. Terlihat megah karena baru saja dibangun. Dua kelas dan satu ruang guru kiranya cukup menampung seluruh warga sekolah yang jumlahnya tak seberapa. Siswanya delapan belas dan guru cuma berenam saja. Sangat minim dibandingkan standar kelas yang seharusnya. Namun, di tempat inilah Bu Lastri benar-benar terpanggil.

Pernah suatu kali Bu Lastri menghadapi hal sepele namun penuh makna. Hampir saja terjadi konflik antara Pak Panut dengan Rio. Pak Panut yang sedang mengajar tersinggung karena Rio nyelonong keluar kelas tanpa ijin. Pak Panut bahkan rela mengejar hingga kantin untuk meminta anak didiknya kembali ke kelas lebih dahulu. Rio yang sedang kelaparan malah menggebrak meja dan mengambil bata merah diacungkan kepada Pak Panut. Postur tubuh Pak Panut yang kecil dan tinggi sebatas telinga Rio akhirnya lari terbirit menuju ruang guru mencari Bu Lastri.

Kearifan Bu Lastri mampu meredam gejolak. Pak Panut dan Rio kembali harmonis setelah Bu Lastri memberi nasihat kepada Rio. Rio yang semalam bertugas meronda begitu lapar hingga ia terpikir makan di kantin. Penjelasan yang Rio berikan dapat membuat nurani Pak Panut iba dan memaafkan Rio. Bahkan di hadapan Bu Lastri, Rio mau berubah menjadi lebih baik.

Kali ini, Bu Lastri pun bertekad mendengarkan alasan Sangirun dan Suti terlebih dahulu sebelum mengambil tindakan. Bu Lastri kemudian memanggil keduanya untuk ke ruang guru.

“Irun, mengapa kamu berbuat nekat di kelas dan dan berciuman dengan Suti? Apa tidak malu dengan Pak Jarot?” Bu Lastri menyelidiki raut muka Sangirun.

“Lho Suti kan pacar saya, Bu. Masa saya tidak boleh menciumnya?” Sangirun tetap belum menyadari perbuatannya.

“Suti, kamu tidak malu?” tanya Bu Lastri singkat. Suti hanya tertunduk dan tidak berani memandang mata Bu Lastri.

“Irun, Suti, Ibu memahami kalian saling menyukai. Akan tetapi, apakah yang kalian lakukan harus dipertontonkan kepada orang lain? Tentunya orang akan risih melihat kalian. Coba, pikir baik-baik.” Nasihat Bu Lastri kepada anak didiknya itu.

Setelah terdiam lama, Sangirun menjawab, “Bu, sebetulnya saya sudah bertunangan dengan Suti. Saya sudah ingin menikah, tapi Suti bilang supaya menunggu lulus SMA. Daripada saya meninggalkan Suti, mending saya ikut saja di kelas, Bu.”

Suti yang mendengar kalimat Sangirun makin tertunduk. Setengah malu-malu, Suti berkata, “Bu Lastri, saya minta maaf kalau berbuat tidak baik, Bu. Saya memang mau menikah dengan Sangirun makanya saya mau saja dicium dia. Tapi Bu, ijinkan saya sekolah sampai selesai ya Bu.”
Bu Lastri menghela nafas panjang.

“Irun, kekasihmu masih ingin sekolah. Dukunglah dia meraih yang dicita-citakan. Bersabarlah hingga lulus nanti. Kamu sanggup, le?” tanya Bu Lastri kepada Sangirun.

“Sebetulnya berat, Bu. Tapi demi cinta, saya juga mau sekolah mendampingi Suti. Itu diijinkan tidak?” Sangirun cengar-cengir bertanya kepada Bu Lastri.

“Baiklah, asalkan kalian menjaga kesopanan, Ibu harapkan kalian bisa tuntaskan masa pendidikan kalian dengan sungguh-sungguh.” Tatapan tajam Bu Lastri seolah memastikan komitmen belajar keduanya. Dan tanpa komando, Sangirun dan Suti mengangguk bersamaan.

Kini Bu Lastri mampu bernafas lega. Tugasnya hari ini usai. Dipandangnya ruang guru yang lengang teringat rekan-rekan yang ditemuinya hanya tiga kali dalam seminggu dan membuatnya nelangsa. Setitik  air mata yang sempat jatuh segera disekanya. Bu Lastri berkemas kembali ke rumahnya yang nyaman.

4 komentar:

  1. Pak Jarot,apa kabar? Wkwkwk ...

    Lucu ceritanya πŸ‘πŸ‘πŸ‘

    Aku suka diksi di awal paragraf πŸ’–

    BalasHapus
  2. Hmm mau komen takut kamu marah 😁

    BalasHapus
  3. Kasihan bu lastri😐
    Semangat ya bu

    BalasHapus