Sabtu, 28 September 2019

Sebuah Karya dari Bumi Ngapak

Sebuah Resensi Buku Karya Ahmad Tohari
Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama; 88 hlm; Cetakan keduabelas, 2019

Foto : Dokumen pribadi


Awal mengenal judul buku ini berasal dari seorang teman. Rekomendasi buku Ahmad Tohari darinya mengusik penasaranku. Katanya, buku berjudul Senyum Karyamin ini piawai mendeskripsikan suasana secara detil. Berbekal informasi tersebut, pucuk dicinta ulam pun tiba, buku yang dicari ketemu di Gramedia kota Satria.

Buku ini merupakan kumpulan tiga belas cerpen karya Ahmad Tohari dari tahun 1976 hingga 1986. Salah satu yang membuat saya tertarik karena latar belakang geografis sang penulis yang sama. Setting wilayah perbukitan kapur sekitar Wangon, Banyumas terasa erat. Demikian juga tema kesederhanaan orang desa yang konsisten disajikan dalam cerita-cerita pendeknya, menginspirasi saya bahwa bahagia itu sederhana, cukup berpikir lurus dan tidak neko-neko.

Cerpen pertama berjudul SENYUM KARYAMIN.
Konflik cerita berlatar seorang buruh pengumpul batu di tepi sungai bernama Karyamin yang berusaha menjalani kehidupannya sebagai seorang buruh sebaik mungkin. Pekerjaan kasar yang dijalani para pengumpul batuan sarat dengan kekecewaan sehingga setiap kali mereka mencari kebahagiaan dengan menertawakan diri mereka sendiri. Berbeda dengan kebanyakan, Karyamin hanya tersenyum. Bahkan ketika dalam keadaan hampir pingsan dan lapar, ia mendapati istrinya bersama dengan Pak Pamong yang sedang menagih sumbangan dana kemiskinan Afrika. Karyamin yang tak memiliki uang sepeserpun hanya bisa tersenyum. Senyum Karyamin yang khas malah dianggap sebagai ejekan. Saking bingungnya Karyamin tertawa terbahak-bahak hingga akhirnya rubuh tergelincir ke arah lembah tanpa bisa ditahan oleh Pak Pamong.


Cerpen kedua berjudul JASA-JASA BUAT SANWIRYA.
Lagi-lagi latar kemiskinan mengasah pilihan diksi Ahmad Tohari yang sederhana dan lugas namun penuh perenungan. Di tengah sakaratul mautnya Sanwirya yang jatuh ketika menderes (menyadap nira), Ranti, Sampir, dan Waras malah mendiskusikan jasa yang akan mereka lakukan agar Sanwirya berhutang budi pada mereka. Ironis, betapa kebodohan akhirnya malah membuat nyawa Sanwirya melayang.


Cerpen ketiga berjudul SI MINEM BERANAK BAYI.
Wajar sekali bila seorang perempuan melahirkan seorang bayi, bukan? Akan tetapi, lingkungan tandus dan minim air sangat berbahaya bagi ibu hamil. Apalagi si Minem adalah perempuan berumur 14 tahun dan melahirkan anak dalam kondisi prematur. Suaminya, Kasdu merupakan tipikal lelaki desa yang tidak tahu bahwa proses kawin bisa membuat istrinya, si Minem mengandung si jabang bayi. Potret desa dengan fenomena pernikahan dini diangkat Ahmad Tohari dengan apik dan begitu sederhana.


Cerpen keempat berjudul SURABANGLUS.
Surabanglus itu nama lain dari singkong yang beracun. Kimin dan Suing yang pekerjaan sehari-hari mencari kayu di hutan, lantas dikejar-kejar polisi Karhutla karena tidak memiliki karcis dan ijin. Di tengah pengejaran, Suing pingsan. Surabanglus yang ditemukannya dimakan tanpa berpikir panjang. Kimin yang tidak tega, berlari ke arah persil, mencari warung dan menukar goloknya untuk sesuap nasi bagi Suing. Naas, Suing yang ditinggal dalam keadaan lapar, malah menghabiskan seluruh surabanglus hingga mati. Lagi-lagi penindasan kaum birokrat kepada si miskin diangkat Ahmad Tohari dalam ceritanya.


Cerpen kelima berjudul TINGGAL MATANYA BERKEDIP-KEDIP.
Tokoh utama cerpen ini adalah Cepon, seorang kerbau milik petani yang mangkrak. Sang pemilik Cepon akhirnya memutuskan memanggil Musgepuk, pawang hewan terbaik di kampung, untuk membuat Cepon mau membajak lagi. Bukannya berhasil, Musgepuk yang hendak memasangkan kaluh (tali kekang di hidung kerbau) membuat Cepon ambruk. Darah yang menggenang di lumpur seakan menjadi saksi bahwa Musgepuk kali ini gagal sebagai pawang. Cerita berakhir dengan kematian si Cepon.


Cerpen keenam berjudul AH, JAKARTA.
Sebuah nilai persahabatan antardua anak pencari rumput yang menjalani hidup sebagai buruh dan seorang lagi sebagai gali (pencuri; preman) disajikan dengan apik. Seorang gali yang mengalami kecelakaan setelah merampok, akhirnya lolos dari kejaran polisi dan singgah di rumah karibnya. Setelah semalam menginap, si gali pergi hingga seminggu kemudian si karib menemukan temannya si gali telah mengapung di Sungai Serayu. Berbekal kenangan dan persahabatan yang tulus, si karib menguburkan si gali dengan cara selayaknya di tepian Sungai Serayu.


Cerpen ketujuh berjudul BLOKENG.
Blokeng yang kurang waras tiba-tiba hamil dan melahirkan bayi perempuan. Seluruh penduduk kampung saling curiga melihat satu sama lain. Blokeng yang ditanya siapa bapak dari si bayi hanya menjawab mbuh-mbuh. Di lain kali malah menjawab lelaki pembawa senter, atau lelaki yang tidak botak seperti Pak Lurah. Kata-kata Blokeng seolah menjadi penanda keblingsatan desa yang sulit berpikir rasional dalam menanggapi permasalahan Blokeng. Lucu. Kesan dalam cerpen ini cukup mendalam.


Cerpen kedelapan berjudul SYUKURAN SUTABAWOR.
Sutawabor sang pemilik pohon jengkol akhirnya bersyukur pohon jengkolnya berbuah lebat. Awalnya pohon jengkolnya mandul sehingga Sutabawor ingin menebangnya. Lalu mertuanya mengajarkan mantra srana yang kemudian hari membuat pohon jengkol berbuah sangat lebat. Sisi kesantrian Ahmad Tohari mulau muncul didalam cerpen. Kritik antara agama dan kepercayaan lokal digunakan Tohari sebagai bahan perenungan. Hasilnya pun luarbiasa, pencerahan setelah membaca cerpen ini.


Cerpen kesembilan berjudul RUMAH YANG TERANG.
Esensi cerita berkisar tentang listrik. Kemajuan teknologi awal tahun 80-an ditandai dengan masuknya listrik di pedesaan. Haji Bakhir yang tak mau memasang listrik sontak menjadi bahan bulan-bulanan penduduk sekitar. Bagi Haji Bakhir, meminimalisir cahaya listrik akan menghadirkan hemat cahaya, sehingga di alam kubur, tersedia cahaya yang cukup baginya. Pemikiran yang sederhana namun disertai perenungan nilai agama yang mendalam.


Cerpen kesepulun berjudul KENTHUS.
Kenthus yang bermimpi naik harimau atau nunggang macan, seolah seperti menerima kekuasaan besar ketika Pak Lurah menunjuknya sebagai penanggungjawab pengepul buntut tikus. Tugas yang dianggapnya sebagai wahyu cakraningrat membuatnya jumawa sehingga istrinya menjadi marah.


Cerpen kesebelas berjudul ORANG-ORANG SEBERANG KALI.
Dua dusun satu kampung hanya dibatasi sebuah jembatan  batang pinang. Kampung seberang jembatan batang pinang suka sekali dengan adu jago. Botohnya, Madrakum suatu saat sakaratul maut. Si Samin kemudian meminta bantuan penduduk seberang untuk mendoakan Madrakum yang tidak mati-mati. Setelah dibacakan Surat Yasin, Madrakum yang semula lunglai, mampu berdiri gagah dan berkokok lantang seperti ayam jagonya. Begitu berputar-putar seolah mau adu jago, tubuhnya ambruk, tak bernyawa lagi.


Cerpen keduabelas berjudul WANGON JATILAWANG.
Perilaku modern masyarakat perbatasan Wangon Jatilawang yang sering dilalui kendaraan ke arah Jakarta, mendorong muncul cerita tentang Sulam. Kebaikan hati seorang pemilik warung makan membuat Sulam selalu datang tiap pagi meminta sarapan. Hingga suatu waktu di bulan puasa, Sulam yang yatim piatu merasa sedih tak punya baju baru. Si pemilik warung makan yang iba menjanjikan sebuah baju bagi Sulam di lebaran nanti. Sayang, dalam perjalanan pulang Sulam tertabrak truk. Penyesalan tidak melakukan kebaikan bagi Sulam oleh pemilik warung menutup cerita Ahmad Tohari ini.


Cerita terakhir berjudul PENGEMIS DAN SHALAWAT BADAR.
Dari judulnya sudah nampak bahwa inti cerita adalah seorang pengemis yang bershalawat. Tokoh supir dan kondektur tempat pengemis berada digambarkan berperilaku pemarah. Bahkan si kondektur memaksa pengemis keluar saat bis sedang melaju. Sayang, ditengah perjalanan bis oleng dan masuk ke areal persawahan. Seluruh penumpang dan kondektur juga supir terluka parah. Kecuali si pengemis yang terus bersenandung shalawat. Ia selamat tanpa kurang suatu apapun.


Ahmad Tohari mengusung nilai-nilai lokal masyarakat desa dalam ceritanya. Tokoh-tokoh yang disajikan betul-betul polos dan sederhana. Konflik yang ada lebih banyak bercerita tentang kebodohan, perselisihan dengan penguasa, bahkan dengan diri sendiri.

Sudut pandang yang digunakan dalam bercerita berganti-ganti. Kadang berasal dari sudut pandang orang ketiga, namun lebih banyak dari orang pertama. Bagi saya sendiri, model cerita seperti ini lebih menarik. Terlebih setiap cerita dibarengi refleksi dari tiap sudut pandang.

Penggunaan diksi dan pemilihan kata oleh Ahmad Tohari juga layak diapresiasi. Kemahirannya mendeskripsikan suatu hal membawa pembaca larut dalam suasana latar pedesaan berkapur nan tandus. Dari sinilah banyak makna terpetik, seperti :

"Mereka, para pengumpul batu itu, memang pandai bergembira dengan menertawakan diri mereka sendiri....Bagi mereka, tawa atau tersenyum sama-sama sah sebagai perlindungan terakhir. Tawa dan senyum bagi mereka adalah simbol kemenangan terhadap tengkulak, terhadap rendahnya harga batu, atau licinnya tanjakan."

Alih-alih meratapi nasib, Ahmad Tohari mengajak pembacanya berkaca dan menertawakan diri sendiri. Cukup menarik, di tengah banyak sinetron yang nyinyir dengan orang lain, Ahmad Tohari malah mengajak diri sendiri untuk ditertawakan. Sebuah kedewasaan sempurna.

"Supaya jiwa dan raga tidak tersiksa, aku selalu mencoba berdamai dengan keadaan. Maka kubaca semuanya dengan tenang."

Ternyata Ahmad Tohari mengenal karakter dan tokoh yang diceritakan seperti membaca. Karakter ia kuliti sampai terbaca semuanya. Inilah yang membuat cerita-cerita Ahmad Tohari begitu deskriptif. Luar biasa.

Over all, kumpulan cerpen Ahmad Tohari hampir mirip dengan Ronggeng Dukuh Paruk, Bekisar Merah, Di Kaki Bukit Cibalak, dan karya lainnya yang membawa imaji kita mengenali wilayah tinggalnya secara gamblang. Semoga Ahmad Tohari makin menginspirasi generasi muda saat ini dengan kesederhanaannya, kesantriannya, dan kepekaannya menangkap momen sedehara menjadi cerita luar biasa.

18 komentar:

  1. Nggak bisa komentar niih, emang karya ahmad tohari epik-epik.

    BalasHapus
  2. Wah yuli belum baca karya ahmad tohari nih

    BalasHapus
  3. Keren sekali Kak resensinya. Btw, sepertinya antologi cerpen ini menarik 😇😇

    BalasHapus
  4. Wah paket komplit ya resensinya 👍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Baru pertama kali buat resensi mbaa..jadi begini hasilnya :)

      Hapus
  5. Pernah dulu sekali baca karya beliau, dan memang bikin jatuh cinta dengan pemikiran sederhananya...buku ini tampaknya harus diburu deh...thanks in advance kak resensinya

    BalasHapus
  6. Memang keren² karya Ahmad Tohari itu

    BalasHapus
  7. wah semangat banget kak rela-rela dibikin ringkasan per cerpen. salut.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Baru belajar resensi..ini aja mesti belajar dari materi odop kemarin kak

      Hapus
  8. Ini detail sekali ya perpoint sudah ada

    BalasHapus
  9. Ini komplit sekaliii... Aku baru tau ada kumcer nya Ahmad Tohari. Layak dikoleksi nih! 😍

    BalasHapus