Senin, 16 September 2019

Karto Tuying dan Mendoan Penyelamat Bangsa

Oleh : Ika Ratnani


Karto Tuying pulang melaut. Separuh kapalnya berisi tong penuh ikan. Musim kemarau ini memang berkah buat Karto Tuying dan nelayan lain. Meski di darat cadangan air menipis, namun ikan-ikan di laut malah sibuk beranak-pinak. Pikir Karto Tuying, mungkin karena limpasan air sungai yang mengalir ke laut sedikit, sehingga aktivitas reproduksinya tidak terganggu. Entahlah, Karto Tuying mumet kalau harus mikir serius. Bisa-bisa cepat habis rambut di kepalanya.

Kampung laut siang itu terlihat lengang. Jalanan berdebu. Kriat-kriut papan bangunan rumah para nelayan lirih terdengar terpapar angin timur yang kering. Karto Tuying berjalan memikul tong penuh ikan. Langkah kakinya yang berat menimbulkan debum di tanah berawa. Sambil cengar-cengir membayangkan wajah sumringah istrinya, Karto Tuying bergegas menuju rumah tengkulak.

Copyright : kalsel.antaranews.com

"Dapat berapa kilo saya, Pak Jasun?" Tanya Karto Tuying kepada tengkulak.
"Lumayan. 40 kilo. Ini uangnya. Cair ya Pak Tuying. Aja kelalen, keluargane dipikirna ya." Pak Jasun menyerahkan beberapa lembar uang bergambar proklamator kepada Karto Tuying.
"Matur nembah nuwun Pak Jasun. Pamit." Ucap Karto Tuyung setengah menunduk.


Sesampainya di rumah, Karto Tuying mencari istrinya, Rohaeni. Di dapur, Rohaeni sedang memasak untuk suami dan anak-anaknya.
"Ini, Bu. Berkah melaut hari ini lumayan. Cukup untuk 5 bulan ke depan kan ya, Bu?" Tanya Karto Tuying pada Rohaeni.
"Syukurlah, Pak. Akhirnya bisa membayar buku pelajaran anak-anak." Rohaeni mengambil uang yang disodorkan Karto Tuying dan menyimpannya dalam sakunya.
"Masak apa, Bu? Kencot." Karto Tuying mengelus-elus perutnya sembari menengok ke arah wajan.
"Mendoan, Pak. Sabar ya." Rohaeni menjawab singkat.

Copyright : resepmasakan.com


Ruang tengah rumah Karto Tuying begitu sederhana. Selembar tikar digelar berdampingan dengan lemari berhias televisi. Siang itu, piring berisi sayur boled, mendoan, dan kerupuk tersaji. Air liur Karto Tuying langsung meleleh melihat makanan kesukaannya di depan mata.

"Bu, enak banget mendoane. Nyelekamin jan... Kata Pak RT, mendoan ada sejak jaman penjajah Bu. Penyelamat bangsa selain bambu runcing." Ujar Karto Tuying sambil sibuk mengunyah makanan.
"Lah..jere apa Pak?" Rohaeni seakan tidak percaya.
Sejarah pembuatan tempe
Copyright : kaskus.id


"Eh, betul. Waktu jaman penjajah kan makanan sedikit, kata Pak RT tawanan perang banyak yang disentri dan busung lapar. Nah, karena diberi makan tempe mereka selamat dan bisa berjuang untuk negara, Bu." Kata Karto Tuying kepada Rohaeni.
"Sakti temen, Pak. Tidak hanya bambu runcing. Tempe pun bisa membuat negara selamet ya?" Jawab Rohaeni sambil berpikir ternyata pergaulan Karto Tuying dengan Pak RT membuat Karto Tuying pintar.
"Pak RT tulih pinter. Mendoan itu bahkan sudah ada sejak jaman raja-raja. Jajal Nyong kaya raja ya Bu..maem mendoan seperti yang di Serat Centhini." Karto Tuying melanjutkan ocehannya.
"Raja? Berarti aku Ratu ya Pak? Lah jan..besok masak mendoan tiap hari lah. Biar seperti raja ratu ya Pak." Rohaeni polos menjawab Karto Tuying.
"Iya tapi jangan lupa, ikan belanak juga perlu dimasak, Bu. Supaya anak-anak kita tidak hanya jadi raja tapi pintar seperti orang Jepang, ya." Lanjut Karto Tuying sambil memandang ke lautan melalui jendela rumahnya.


Keluarga Karto Tuying terus bercengkrama sambil menyantap makan siang. Berkah melaut di musim kemarau bagi Karto Tuying disyukuri dengan menikmati hidup sebagaimana adanya.


Note :
Kelalen = lupa
Matur nembah nuwun = terima kasih
Kencot = lapar
Nyelekamin = enak sekali
Nyong = inyong = saya

7 komentar: