Minggu, 22 September 2019

Fiksi Hidup

Oleh :
Ika Ratnani

Copyright by : hipwee.com


"Aku tidak ingin berandai-andai dengan masa lalu, Bu." Seru Ara pada ibu.
"Ara ingin menjalani saat ini penuh kesadaran dan berarti bagi orang lain meskipun cuma sebatas tulisan." Lanjutnya kemudian.
"Iya Ara, Ibu mengerti. Tidak ada satupun yang bisa menolak kehendak Yang Kuasa. Ibu dukung keputusanmu penuh, Nak. Namun, kondisi tubuhmu harus kau jaga baik-baik ya. Jangan terlalu larut malam lagi menulisnya." Ibu akhirnya terdiam dan keluar dari kamar Ara.


"Sepanjang hidupku menulis adalah satu-satunya pelipur. Setidaknya dengan kondisiku saat ini. Aku memilih jalan untuk merangkai kata menjadi kalimat, memaknai setiap kata untuk membangun jiwa, bahkan mencintai setiap proses lahirnya jalinan cerita dengan penuh suka cita. Aku yakin tulisan-tulisanku akan menemui pembacanya tepat pada waktunya. Hanya saja, aku perlu tekun mendekat padaNya agar tetap bisa berkarya." Ara melanjutkan tulisannya di buku harian di penghujung hari sebelum beranjak tidur.

"Ibu, Ara berangkat ke kantor dulu ya." Ara berpamitan pada ibu.
"Hati-hatilah di jalan dan apabila tubuhmu lelah, istirahatlah. Jangan kau paksakan diri lagi, Ara." Pesan ibu ketika kucium telapak tangannya yang keriput.
"Tenang, Ibu. Ara sudah kuat. Kaki Ara sudah tegak berdiri. Itu artinya Ara pasti mampu menjalani dengan baik hari ini." Ara berusaha untuk senyum paling manis menenangkan hati ibunya. Setelah melihat beliau tenang, Ara segera bergegas.


Acara kantor hari ini sangat padat. Semenjak pagi, acara bazar keperluan sembako dan pentas seni berlangsung meriah. Ara yang kebagian tugas menjaga stand juga sibuk melayani pembeli bahan pokok pangan yang dijual separuh harga. Hiruk pikuk ibu-ibu kelurahan sebelah membuat Ara bersemangat.
Saat istirahat, Ara mengeluarkan buku kecil dari tas kerjanya. Buku bergambar kota Paris dan berwarna coklat muda itu selalu menemani Ara. Beberapa halamannya terlihat kumal karena sudah tercetak tinta hitam di atasnya. Kali ini, tangan lincah Ara sedang membuat sebuah cerita dari seorang nenek yang membeli sembako tadi. Meski berupa fiksi, inspirasi dari keseharian hidup, membuat Ara lebih memaknai setiap kejadian.

"Memangnya nulis apa, Ara?" Tanya Rani melihat keasyikan Ara di sudut kantin kantor.
"Ah, Rani. Ini..aku membuat cerita tentang seorang nenek yang aku layani tadi saat bazar." Jawab Ara sambil tersenyum.
"Kok buat cerita? Bukan buat kaya berita-berita gitu? Kan kalau laporan peristiwa bisa dikirim ke koran tuh, Ra?" Rani merasa Ara harusnya membuat tulisan koran saja.
"Pekerjaan kantor sudah banyak laporan. Belum lagi kalau dikirim dinas luar harus membuat cerita non-fiksi alias laporan perjalanan dinas." Ara menguraikan alasannya kepada Rani sambil terkekeh. Rani pun ikut tersenyum geli membayangkan perkataan Ara.
"Aku bosan, Ran. Bagiku menulis adalah satu-satunya jalan supaya bisa menyeimbangkan antara pekerjaan dengan hobiku. Makanya aku lebih suka menulis cerita fiksi, Ran. Bisa berimajinasi." Terangnya kemudian kepada Rani. 
"Oh begitu. Baiklah. Kapan-kapan aku baca hasil karyamu ya, Ara?" Kata Rani kemudian.
"Iya pasti, Rani. Tulisanku akan abadi meski aku tak ada lagi." Jawab Ara sambil memegangi dadanya.


Tiba-tiba, nafas Ara mulai kembang kempis. Ritmenya terlalu cepat untuk ukuran normal. Rani yang semula terdiam, menjadi panik. Rani lalu memanggil teman-temannya. 
Muka Ara mulai memucat pertanda sakit luar biasa di tubuhnya. Tangannya menjadi kaku dan kedinginan. Bunyi mengi berkali-kali keluar dari mulutnya. Lelah seharian membuat tubuh Ara drop seperti saat ini.

Di tengah-tengah  nafasnya yang tersengal, Ara menitipkan buku catatan kecilnya ke tangan Rani.
"Titip." Begitu kalimat terakhir Ara.
Setelah menarik nafas  cukup panjang, Ara pergi.
Rani pun berteriak. Tidak percaya bahwa sosok sahabat yang selama ini sering menemaninya berpulang. Rani mengenggam buku catatan kecil milik Ara. Benaknya berujar, "Abadilah engkau bersama tulisan ini, Sahabat. Akan kusampaikan pada dunia tentangmu. Pergilah dengan tenang." Doa Rani mengantar kepulangan Ara kepada Sang Pencipta Raga.



#odopbatch7
#tantangan2

5 komentar:

  1. Tuh kan jadi sedih Ara nya meninggal...

    Hai Kak, suka deh dengan tulisannya. aku bilang rapi banget.
    mungkin hanya ada 1 hal yang aku ingin tanyakan

    "Ibu, Ara berangkat ke kantor dulu ya." Aku berpamitan pada ibu.

    ini maksudnya Ara berpamitan pada Ibu kali ya..
    atau memang ada sosok "Aku" disana?

    BalasHapus
  2. lah kok Ara mendadak meninggal? penulisnya kejam huhu

    BalasHapus