Kamis, 26 September 2019

Gitar Pengharapan Kania

Oleh : 
Ika Ratnani

Gitar hitam itu tak lagi berdenting. Onggokannya hanya menyesaki kamar belakang. Terdiam di sudut ruangan yang pengap dan penuh sesak kardus-kardus berisi barang-barang bekas sejak satu windu lalu.

Sudah tiga ratus enam puluh hari sejak Kania menggantungkan mimpi dan gitarnya. Semua yang ada di angan-angannya kini tak lagi hadir dan menggelora. Cita-citanya sebagai pemusik telah pupus. Kania hanya menjalani hidup serealistis mungkin. Kebutuhan keluarganya menjadi prioritas utama.


"Mau pesan apa, Mba?" Tanya Kania kepada pelanggannya.
"Pesan paket 1 untuk 5 orang ya, Mba." Sahut pelanggan gerai makanan siap saji terkenal kepada Kania.
"Oke Mba..segera diantar ya. Ini struknya." Kania menyerahkan bukti pembayaran secepatnya agar pelanggan berikutnya segera terlayani.


Di tempat pekerjaan yang baru, Kania mendapatkan penghasilan rutin yang mencukupi kebutuhan keluarganya. Setidaknya biaya pengobatan ayahnya yang sakit keras dan terbaring di tempat tidur selama setahun sedikit terpenuhi. Penghasilannya memainkan gitar dahulu, tak mampu menutup pengeluaran sehari-hari. Belum lagi biaya adik-adiknya yang masih berada di bangku sekolah. Demikian berat beban yang Kania tanggung. Ketiadaan sang ibu sejak adik kembarnya lahir mendorong Kania mengambil alih tugas sebagai pengasuh secara penuh.

"Kak, kenapa sekarang tak pernah bermain gitar dan bernyanyi untuk Raka lagi?" Tanya Raka kepada Kania.
"Kakak sudah tidak bisa bermain gitar lagi, Dik. Maaf ya." Jawab Kania sambil memandang adik kembarnya bergantian. Adik-adik kecilnya terdiam waktu Kania kemudian merangkul mereka dalam pelukan.
"Raka, Raya, Kakak mau kalian belajar sungguh-sungguh supaya Ayah dan Ibu bangga kepada kalian. Jangan tiru Kakak yang bahkan tidak bisa membelikan mainan pesawat terbang untuk kalian ya." Mata Kania berkaca-kaca melihat dua kembar hanya manggut-manggut seolah mengerti. Wajah polos adiknya makin membuat hati Kania trenyuh. Kania makin erat memeluk kedua adik kesayangannya Tekadnya membulat untuk membahagiakan orang-orang kesayangannya itu.


Esok harinya, Kania bekerja seperti biasa. Lalu lalang pelanggan tidak membuatnya lelah. Tanpa ia sadari, dua pasang mata mengamati kecekatan Kania melayani. Bagus dan Praba telah mengenal Kania meski tak secara langsung. Mereka mengenal Kania saat berselancar di media sosial. Mereka tertarik dengan kepiawaian Kania bermain gitar. 

Begitu Kania mendekat ke meja Bagus dan Praba, mereka menyapa.
"Apa kabar Kania?" Sapa Bagus kepada Kania.
"Maaf, apakah Kakak-Kakak sekalian mengenal saya?" Muka Kania penuh tanda tanya.
"Kami mengenal Anda lewat karya-karya Anda di media sosial. Permainan gitar Anda begitu menarik. Banyak penikmat musik yang menyenangi video dan lagu yang Anda buat, lho." Kalimat pembuka dari Bagus memperjelas rasa penasaran Kania.
"Ooh." Sepatah kata keluar dari mulut Kania disertai kebingungan.
"Pemain otodidak seperti Anda cocok bagi industri musik saat ini. Kami dari label industri musik besar. Apakah Anda tertarik bergabung dengan label kami?" Praba menawarkan kerjasama menggiurkan kepada Kania.


Sejenak, Kania bingung. Ia tak percaya, setelah kegagalan dan penolakan bermain gitar dimana-mana, tiba-tiba tawaran tak terduga datang. Kania bimbang, takut kena tipu daya.
"Anda tidak membohongi saya kan?" Ragu-ragu Kania bertanya pelan demi sopan santun.
Bagus dan Praba tertawa bersamaan. Lalu Praba berkata, "Jika Anda siap menyambut tawaran kami, saat ini pula kami akan transfer biaya kontrak sebesar seratus juta rupiah ke rekening Anda. Kami sungguh-sungguh, Kania."
"Betul, talenta Anda sangat disayangkan jika tidak dikelola dengan baik." Sambung Bagus menjelaskan.


Kania lalu menundukkan kepalanya. Hatinya mengarah ke surga, ia berusaha mencari kemantapan hati disana. Terbayang senyum ceria adik kembarnya kemudian. Seolah mendapat jawaban, Kania akhirnya menjawab, "Baiklah. Saya siap bergabung. Mohon bimbingannya." Sambil tersenyum Kania meraih uluran tangan Bagus dan Praba untuk bersalaman.


"Kami kirimkan sekarang juga sejumlah uang ke rekening Anda. Besok siang kami tunggu di studio untuk membahas debut pertama Anda." Praba sumringah melihat misinya merekrut seniman baru berhasil.
Kania hanya mengangguk tak percaya. Air matanya meleleh lirih bersamaan ucap syukur yang membuncah di hatinya.


Kania berlari-lari kecil menuju rumah tinggalnya. Ia segera ke kamar dan mencium takzim tangan ayahnya. Air mata Kania mengalir deras. Ia begitu bersyukur karena ia masih diberi kesempatan untuk menjaga ayah dan adik-adiknya. 

Kesempatan kedua yang datang kali ini tak akan disia-siakannya. Seberkas harapan memenuhi rongga dadanya kembali. Gitar hitam yang terlunta akan Kania gunakan lagi demi meraih mimpi yang tertunda.

7 komentar: