Selasa, 05 November 2019

Petasan

PETASAN

Bu Uwi hampir marah besar. Kalau saja ia tidak berpuasa, omelan mungkin sudah keluar dari bibirnya. Ia hanya terdiam sejenak. Menarik nafas sembari tenangkan diri. Ditahannya agar tidak terpancing emosi. Gemeletuk gigi menandakan kuat keinginannya menahan campur aduk rasa. Penuh perasaan direngkuh dan dielus kepala putra bungsunya. Sambil rapal doa agar selamat dunia akhirat.

“Sabar ... sabar. Jangan sampai keluar perkataan kurang baik kepada anakku,” ucap Bu Uwi dalam hati.

“Sakit, Nak?” Tanya Bu Uwi kepada Ino, buah hatinya.

Si anak hanya memandang Bu Uwi tanpa sepatah katapun. Matanya berkaca-kaca. Bibir bawahnya digigit sampai gemetar. Hati Bu Uwi bergetar dan trenyuh melihat tangan anak Ino membengkak. 

Luka bakar tingkat dua. Awalnya cairan bening memenuhi kulit ari tangan mungil itu. Sekepal tangan orang dewasa lebarnya. Namun, si kecil mengibas-ibaskan tangannya terus menerus. Juga ditekannya luka itu sehingga jaringan kulit terluar mengalami ruda paksa. Robek. Lalu keluarlah seluruh cairan menyisakan lembaran tipis kulit menghitam kemerahan. Lengket. 

“Aduh Ino ... jangan ditekan sayang. Nanti jadi lebih perih.” Hampir saja berteriak Bu Uwi. Namun, suaranya tertahan melihat butir bening mengalir setetes di wajah si kecil. Si bungsu berjuang menegarkan diri menahan perih.

“Sini, Ibu peluk Ino sayang. Tidak apa-apa. Ibu balut dulu ya, setelah itu kita ke dokter.” Suara Bu Uwi melembut. Dibelainya bungsu demi menenangkan buah hatinya.

“Ino, sebentar ya. Ibu mau buang mainan kamu. Petasan itu berbahaya, Nak. Boleh kan Ibu membuangnya?” tanya Bu Uwi kepada Ino lagi. Ino hanya mengangguk pelan.

Bu Uwi mengambil kantong plastik, kemudian mengambil petasan-petasan merah pipih itu untuk dibuang jauh-jauh. Harga mainan itu memang tak seberapa, tapi kali ini Bu Uwi menyadari rasa ingin tahu membawa si bungsu membeli barang tanpa pengawasannya. Sungguh disayangkan. Bu Uwi menarik nafas panjang untuk meredakan penyesalannya.

Setelah merapikan halaman depan dan membuang sisa-sisa petasan, segera dibopong putra bungsunya ke klinik terdekat. Pertolongan pertama air mengalir selama dua puluh menit sudah ia lakukan. Bu Uwi pun sudah membalut tangan Ino yang terluka. Ia berharap tangan kecil itu kembali seperti sediakala. Tak membekas ataupun luka lainnya. Melihat anaknya terluka hatinya kecut. Apalagi si kecil terus menunduk seolah mengerti kemarahan ibunda. Ia melangkah cepat-cepat. Dalam gendongnya, doa-doa terbaik dinaikkan lagi bagi putra bungsunya. Tanda kasih sayang lebih besar dari amarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar