PETASAN
Bu
Uwi hampir marah besar. Kalau saja ia tidak berpuasa, omelan mungkin sudah
keluar dari bibirnya. Ia hanya terdiam sejenak. Menarik nafas sembari tenangkan
diri. Ditahannya agar tidak terpancing emosi. Gemeletuk gigi menandakan kuat
keinginannya menahan campur aduk rasa. Penuh perasaan direngkuh dan dielus
kepala putra bungsunya. Sambil rapal doa agar selamat dunia akhirat.
“Sabar ... sabar. Jangan sampai keluar
perkataan kurang baik kepada anakku,” ucap Bu Uwi dalam hati.
“Sakit, Nak?” Tanya Bu Uwi kepada Ino, buah hatinya.
Si anak hanya memandang Bu Uwi tanpa sepatah katapun.
Matanya berkaca-kaca. Bibir bawahnya digigit sampai gemetar. Hati Bu Uwi
bergetar dan trenyuh melihat tangan
anak Ino membengkak.
Luka
bakar tingkat dua. Awalnya cairan bening memenuhi kulit ari tangan mungil itu.
Sekepal tangan orang dewasa lebarnya. Namun, si kecil mengibas-ibaskan tangannya terus
menerus. Juga
ditekannya luka itu sehingga
jaringan kulit terluar mengalami ruda paksa. Robek. Lalu keluarlah seluruh
cairan menyisakan lembaran tipis kulit menghitam kemerahan. Lengket.
“Aduh Ino ... jangan ditekan sayang. Nanti jadi lebih
perih.” Hampir saja berteriak Bu Uwi. Namun, suaranya tertahan melihat butir
bening mengalir setetes di wajah si
kecil. Si bungsu berjuang menegarkan diri
menahan perih.
“Sini, Ibu peluk Ino sayang. Tidak apa-apa. Ibu balut
dulu ya, setelah itu kita ke dokter.” Suara Bu Uwi melembut. Dibelainya bungsu
demi menenangkan buah hatinya.
“Ino, sebentar ya. Ibu mau buang mainan kamu. Petasan itu
berbahaya, Nak. Boleh kan Ibu membuangnya?” tanya Bu Uwi kepada Ino lagi. Ino
hanya mengangguk pelan.
Bu Uwi mengambil kantong plastik, kemudian mengambil petasan-petasan merah pipih
itu untuk dibuang jauh-jauh. Harga mainan itu memang tak seberapa, tapi kali ini Bu
Uwi menyadari rasa ingin tahu membawa si bungsu membeli barang tanpa
pengawasannya. Sungguh disayangkan. Bu Uwi menarik nafas panjang untuk
meredakan penyesalannya.
Setelah merapikan halaman depan dan membuang sisa-sisa
petasan, segera dibopong putra
bungsunya ke klinik terdekat. Pertolongan pertama air mengalir selama dua puluh
menit sudah ia lakukan.
Bu Uwi pun sudah membalut tangan Ino yang terluka. Ia berharap tangan kecil itu kembali seperti sediakala. Tak
membekas ataupun luka lainnya. Melihat anaknya terluka hatinya kecut. Apalagi
si kecil terus menunduk seolah mengerti kemarahan ibunda. Ia melangkah
cepat-cepat. Dalam gendongnya, doa-doa terbaik dinaikkan lagi bagi putra
bungsunya. Tanda kasih sayang lebih besar dari amarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar