Minggu, 22 November 2020

MEMBANGUN KULTUR SEKOLAH YANG POSITIF (HASIL BIMTEK EDS)

 

Tulisan ini diperoleh dari hasil BIMTEK EDS.

Saat ini masih relevan dengan kebutuhan Pembangunan Karakter siswa.



MEMBANGUN KULTUR SEKOLAH YANG POSITIF

 

 

A.    Pendahuluan

 

Salah satu faktor penentu keberhasilan penyelanggaraan proses pendidikan adalah kultur yang dibangun dengan baik. Kultur sekolah yang baik akan meningkatkan mutu pendidikan baik dalam bidang akademik maupun non akademik. Bulach, Malone dan Castleman (1994) telah melakukan penelitian yang dilakukan di 20 sekolah dan menemukan bahwa perbedaan kultur sekolah berhubungan erat dengan perbedaan prestasi siswa. Hal ini berarti bahwa sekolah yang berhasil membangun dan memberikan kultur yang baik akan menghasilkan prestasi belajar yang tinggi dan tidak hanya bernilai akademik tapi juga menghasilkan kultur dengan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih baik, berbudaya, berahlak dan berbudi pekertiluhur.

B.     Pengertian

Kultur sekolah adalah budaya sekolah yang menggambarkan pemikiran-pemikiran bersama (shared ideas), asumsi-asumsi (assumptions), nilai-nilai (values), dan keyakinan (belief) yang dapat memberikan identitas (identity) sekolah yang menjadi standar perilaku yang diharapkan (Zamroni, 2009).

C.    Mengapa Kultur Sekolah yang Positif Perlu Dikembangkan

Kultur sekolah memegang peranan penting dalam peningkatan mutu karena memiliki fungsi, yaitu:

 

1.      Sebagai alat untuk membangun identitas (jati diri).

2.      Kultur sekolah akan mendorong warga sekolah untuk memiliki komitmen yang

3.      tinggi.

4.      Kultur sekolah akan mendorong terbentuknya stabilitas dan dinamika sosial yang berkualitas. Hal ini penting agar lingkungan sekolah menjadi kondusif tidak terganggu oleh konflik yang akan menghambat peningkatan mutu pendidikan.

5.      Kultur sekolah akan membangun keberartian lingkungan yang positif bagi warga sekolah.

D.    Kultur Sekolah Positif yang Perlu Dikembangkan

Setidaknya ada tiga kultur yang perlu dikembangkan di sekolah, yaitu kultur akademik, kultur budaya, dan kultur demokratis. Ketiga kultur ini harus menjadi prioritas yang melekat dalam lingkungan sekolah.

  1. Kultur akademik memiliki ciri pada setiap tindakan, keputusan, kebijakan, dan opini didukung dengan dasar akademik yang kuat. Artinya merujuk pada teori, dasar hukum, dan nilai kebenaran yang teruji, bukan pada popularitas semata atau sangkaan yang tidak memiliki dasar empirik yang kuat. Ini berbeda dengan kultur politik. Jadi guru, kepala sekolah, dan siswa selalu berpegang pada pijakan teoritik dalam berpikir, bersikap dan bertindak dalam kesehariannya. Kultur akademik tercermin pada kedisiplinan dalam bertindak, kearifan dalam bersikap, serta kepiawaian dalam berpikir dan berargumentasi.
  2. Kultur budaya tercermin pada pengembangan sekolah yang memelihara, membangun, dan mengembangkan budaya bangsa dan nilai-nilai yang positif dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Selain itu, sekolah terus mengembangkan seni tradisi yang berakar pada budaya nusantara yang dikreasi untuk dikemas dengan modernitas dengan tetap mempertahankan keasliannya.
  3. Kultur demokratis menampilkan corak berkehidupan yang mengakomodasi perbedaan untuk secara bersama membangun kemajuan. Kultur ini jauh dari pola tindakan disksriminatif dan otoritarianisme. Warga sekolah selalu bertindak objektif, transparan, dan bertanggungjawab.

Positive vs. Toxic Culture

Positive Culture

Toxic Culture

·      Widely shared sense of Purpose

·      Norm of continuous learning and improvement purpose

·      Collaborative collegial relationships

·      Opportunities for staff reflection, collective inquiry, and sharing practice

·      Lack of a clear sense of purpose

·      Norms that reinforce inertia or resistance to change

·      Collaboration restricted s

·      Staff “cliques” that work against building relationship

 


 

School Culture and

Professional Learning

The most positive school culture values

Toxic Culture

·      Staff members who help lead their own development

·      Well-defined improvement plans

·      Variety in learning experiences

 

·     Positive experiences are attacked

·     Attempts to share new ideas are ridiculed

E.     Membangun Kultur Sekolah yang Positif

Pembangunan pendidikan/sekolah terberat justru terletak pada membangun kultur positif sekolah yang selain membutuhkan dana materil yang tidak sedikit, akan tetapi membutuhkan daya tahan kesabaran, keuletan, persisistensi, dan konsistensi dari seluruh pemangku kepentingan di sekolah yaitu guru, kepala sekolah, orang tua, dan pemerintah daerah.

Dalam membangun kultur, sekolah tidak dapat berdiri sendiri tetapi memerlukan kerjasama dengan mitra kerjanya yaitu orang tua siswa, komite sekolah dan para pemangku kepentingan lainnya.

 

Sekolah harus menjadi learning organization yang melakukan pembelajaran untuk mencapai apa yang diinginkan, yakni dengan mengajak semua warga sekolah mengembangkan sistem dan pola berpikir yang lebih baik. Selain itu sekolah harus perlu melakukan evaluasi diri agar untuk menjadi dasar perencanaan untuk membangun kultur yang tepat sesuai dengan kondisi nyata.

 

Yang paling berat dalam membangun kutur adalah kesediaan bertindak menampilkan keteladanan yang seyogyanya mulai dari pimpinan teratas. Kepala sekolah harus menjadi teladan guru dan pegawai, guru menjadi teladan siswa, serta orangtua bersedia menjadi teladan anaknya. Camat, Bupati, Ketua DPRD juga harus  menjadi sosok teladan yang bertindak adil, transparan, objektif bagi sekolah.

Kultur sekolah dapat dibangun dengan dua cara yaitu melalui proses pembiasaan dan menjadikan pembiasaan tersebut menjadi sebuah sistem.

 


  1. Pembiasaan

 

Pada pembiasaan semua tingkal laku yang bernilai kemuliaan tersebut masih berupa tindakan yang memerlukan arahan, kontrol dan penyadaran dari orang lain. Contoh cara-cara yang bisa dilakukan sekolah dalam membentuk pembiasan adalah:

 

1.      Sekolah menciptakan induk tata tertib (induk tata tertib adalah sebuah pola pengaturan terpadu yang mengkaitkan segala macam tata tertib yang mengatur pembagian tugas di sekolah),

2.      Pembudayaan sopan santun,

3.      Membangun kesadaran siswa,

4.      Dll.

 

  1. Mengubah pembiasaan menjadi  sistem

 

Untuk bisa melestarikan pembiasaan dan mengubahnya menjadi sistem ada

beberapa contoh cara yang bisa ditempuh.

 

a.      Mengaplikasikan jiwa keteladanan

 

Jiwa keteladanan yang harus teramati adalah adalah dari orang-orang penting di sekolah seperti kepala sekolah, wakil kepala sekolah dan guru-guru senior tanpa kecuali tokoh-tokoh tersebut harus berperan aktif bagi terciptanya system bertingkah laku terpuji di sekolah.

 

b.      Menciptakan sekolah sebagai wawasan wiyata mandala

 

Wawasan wiyata mandala adalah lingkungan kehidupan sekolah yang bercorak edukatif yang diposisikan dalam sentral kehidupan, menjadi poros utama yang harus dipedomani dalam bertingkah laku.

 

c.       Aplikasi sistem penghargaan dan hukuman dilakukan secara konsisten.

 

d.     Berbagai hal yang berkaitan dengan penyimpangan dalam tugas dipetakan sehingga teramati oleh semua warga sekolah untuk dilakukan perbaikan.

 

Lickona (1998: 53) menyebutkan sebelas prinsip yang efektif dalam menanamkan nilai-nilai (membentuk budaya positif) sebagai berikut.

 

1.      Memromosikan nilai-nilai pritoritas atau inti (seperti sifat peduli, tulus (honesty), jujur (fairness), bertanggung jawab, terbuka, rasa hormat kepada diri sendiri dan orang lain) dan mendukung implementasi nilai-nilai tersebut sebagai dasar bagi karakter yang baik.

2.      Mendefinisikan 'karakter' secara komprehensif yang meliputi aspek pemikiran, perasaan, dan perilaku.

3.      Menggunakan pendekatan yang komprehensif, mendalam, dan proaktif terhadap implementasi dan pengembangan karakter.

4.      Menciptakan komunitas sekolah yang peduli.

5.      Memberikan peluang kepada para siswa untuk melakukan tindakan moral.

6.      Menyusun kurikulum yang bermakna dan menghargai semua siswa, mengembangkan karakter mereka, dan membantunya untuk mencapai keberhasilan.

7.      Berusaha keras untuk memelihara motivasi diri para siswa.

8.      Melibatkan semua warga sekolah sebagai komunitas belajar dan moral yang bersama-sama bertanggung jawab terhadap implementasi dan pengembangan karakter, dan berusaha untuk mentaati nilai-nilai prioritas atau inti yang sama yang akan menjadi teladan bagi para siswa.

9.      Memelihara kepemimpinan moral secara bersama-sama dan mendukung inisiatif pendidikan karakter.

10.  Melibatkan anggota keluarga dan masyarakat sebagai patner dalam usaha membangun karakter.

11.  Menekankan karakter sekolah dan menempatkan komponen sekolah (kepala sekolah, guru, dan karyawan) berfungsi sebagai guru dan teladan bagi pembentukan karakter, hingga sampai kepada para siswa dalam mewujudkan karakter yang baik.

 

Proses yang efektif untuk membangun budaya sekolah adalah dengan melibatkan dan mengajak semua pihak atau pemangku kepentingan untuk bersama-sama memberikan komitmennya. Keyakinan utama dari pihak sekolah harus difokuskan pada usaha menyemaikan dan menanamkan keyakinan, nilai, norma, dan kebiasaan-kebiasaan yang merupakan harapan setiap pemangku kepentingan tersebut. Untuk itu, pimpinan sekolah, para guru, dan karyawan, harus fokus pada usaha pengorganisasian yang mengarah pada budaya postif yang dibangun.

 

Pertama, menetapkan peran yang harus dimainkan oleh pimpinan sekolah, guru, dan komunitas sekolah melalui komunikasi yang terbuka dan kegiatan-kegiatan akademik yang dapat memberikan layanan terbaik terhadap harapan dan kebutuhan komunitas sekolah tertentu (siswa).

Kedua, menyusun mekanisme komunikasi yang efektif, seperti misalnya dengan melakukan pertemuan rutin (mingguan atau bulanan) di antara pimpinan sekolah, guru, dan karyawan; pihak sekolah dengan mitra, seperti dengan perguruan dengan atau organisasi profesi tertentu; pihak sekolah dengan orang tua/wali; dan pihak sekolah dengan pemerintah.

 

Ketiga, melakukan kajian bersama untuk mencapai keberhasilan sekolah, misalnya melalui pertemuan dengan sekolah-sekolah tertentu yang telah berhasil atau sekolah unggulan, atau dengan melakukan studi banding.

 

Keempat, melakukan visualisasi visi dan misi sekolah, keyakinan, nilai, norma, dan kebiasaan-kebiasaan yang diharapkan sekolah.

 

Kelima, memberikan pelatihan-pelatihan atau memberikan kesempatan kepada semua komponen sekolah untuk mengikuti berbagai pelatihan atau pengembangan diri, yang mendukung terwujudnya budaya sekolah yang diharapkan.

 

Shaping Positive School Culture

 

  • Foster a climate of

commitment to staff and student learning

  • Build positive relationships

through collaborative activities

  • Recognize and support

quality professional development opportunities

  • Address the negative directly,

replacing negative stories with concrete positive results

 

 

 

F.      Penutup

 

Sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan seyogyanya memiliki kultur sekolah yang positif agar secara terus menerus dapat meningkatkan mutunya. Kultur sekolah yang positif akan menyemaikan nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan sehingga sekolah benar-benar dapat menjadi agen perubahan untuk menjadikan manusia Indonesia yang utuh, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berahlak mulia, sehat,berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

 

Kultur sekolah harus dibangun berlandaskan visi, misi dan tujuan sekolah dengan menerapkan manejemen partisipatif dan terbuka sehingga benar-benar dipahami dan dihayati oleh seluruh warga sekolah dan para pemangku kepentingan sehingga dapat diimplemntasikan secara ikhlas dan konsisten untuk mencapai cita-cita yang telah ditetapkan dalam visi dan tujuan sekolah.

 

Jika diimplementasikan dengan baik dan konsisten, kultur sekolah dapat meningkatkan kualitasnya secara terpadu untuk kepuasan peserta didik, orangtua siswa dan masyarakat secara keseluruhan.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar